21 Mei 1998 menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia, Presiden Soeharto lengser setelah 32 tahun menjadi orang nomor satu di Indonesia. Banyak perubahan kelam sebelum akhirnya Soeharto mundur. Indonesia dilanda krisis, demo besar-besaran dari mahasiswa menuntut Soeharto mundur, penjarahan, kerusuhan dan kebakaran terjadi di mana-mana. Tragedi Mei 98 yang memakan korban jiwa akan terus berlanjut dalam sejarah, sebagai perjalanan demokrasi di Indonesia.
Di tengah gejolak politik, ekonomi dan sosial saat itu, Soehartolepas untuk menstabilkan kehidupan. Ia berusaha mencari jalan tengah sebelum mengambil pilihan terakhir, mundur. Berikutusaha Soeharto mempertahankan kekuatan sebelum memilih mundur:
1. Bertemu Para Tokoh di Istana Negara
Salah satu peristiwa yang sangat penting untuk dirangkai adalah Soeharto memanggil beberapa tokoh masyarakat untuk dimintai kondisi yang telah menjadi penyebab terjadinya multidimensi yang terjadi.
Mereka yang diundang ke Istana Negara oleh Soeharto pada 19 Mei 1998, atau dua hari sebelum pengunduran diri tokoh sentral Orde Baru adalah Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof. Malik Fadjar dari Muhammadiyah, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, Sumarsono dari Muhammadiyah, dan Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari Nahdlatul Ulama.
2. Membentuk Komite Reformasi
Usai bertemu para tokoh tersebut, Presiden Soeharto kala itu ingin membentuk Komite Reformasi dan menunjuk Nurcholish sebagai ketua, namun hal itu ditolak oleh pria yang akrab disapa Cak Nur itu. Yusril Ihza Mahendra yang menjadi dewan khusus, juga gagal mengajak tokoh-tokoh lainnya seperti Amien Rais dan KH Abdurrachman Wahid (Gus Dur), Ma'ruf Amin, Cholil Baidowi, Ali Yafie, Emha Ainun Nadjib, Achmad Bagdja dan Sumarsono.
Pak, kita gagal (Komite Reformasi) ini, menampakkan Yusril kepada Soeharto, seperti dikutip dari buku Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru.
3. Bentuk Kabinet Reformasi
Selain itu, untuk meredam dan menstabilkan situasi, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti nama menjadi Kabinet Reformasi. Namun usaha itu juga gagal dilakukan karena sebanyak 14 menteri yang menolak bergabung dan memilih mundur secara bersama-sama.
4. Pemilu dipercepat
Upaya lainnya adalah hasil pertemuan antara Soeharto dengan kesepuluh tokoh masyarakat dan ulama hari itu, disepakatilah ketentuan yang akan merombak Kabinet VII dan menggantinya dengan Kabinet Reformasi, dalam rentang waktu enam bulan ke depan.
Selain itu, lahirlah pemilu yang dipercepat dan dipersiapkan menjadi masa enam bulan tersebut. Soeharto juga tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai calon presiden. Hal ini oleh KH Ma'ruf Amin, yang menceritakan hal terseut. Ketua PBNU menilai itu sebagai langkah strategis dan terstruktur dalam mendesain mundurnya Soeharto dari tampuk pemerintahan, dengan jalan konstitusional guna menghindari gejolak politik yang bisa semakin memanaskan kondisi genting saat itu.
"Ini disepakati oleh para tokoh yang hadir saat itu, termasuk saya. Maka hal itu pun menjadi keputusan dan Pak Harto siap untuk melakukan hal tersebut," kata KH. Ma'ruf Amin.
Namun upaya ini juga mentok. Dan pada akhirnya Soeharto memutuskan mengundurkan diri.
Sumber: merdeka.com
0 comments:
Post a Comment