Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

DPD PEKAT INDONESIA BERSATU KABUPATEN ASAHAN

Sebagai bangsa yang besar dengan secara sadar, memiliki rasa tanggung jawab penuh dan turut ikut serta wajib membela dan menegakkan Persatuan dan Kesatuan serta Keutuhan bangsa dan Negara INDONESIA, merupakan bagian dari iman yang dapat diaktualisasikan dalam setiap peran kehidupan bermasyarakat dimanapun kita berada serta merupakan refleksi dari Undang Undang No. 20 Tahun 1982 pasal 2.

MUHAMMAD SYIHABUDDIN

KETUA DPD PEKAT INDONESIA BERSATU KABUPATEN ASAHAN

EFRIANTO RANY

SEKRETARIS DPD PEKAT INDONESIA BERSATU KABUPATEN ASAHAN

DOKUMENTASI

DOKUMENTASI KEGIATAN "DANA DESA UNTUK RAKYAT SEJAGTERA"

AGUS RAMANDA

WAKIL KETUA BIDANG OKK DPD PEKAT INDONESIA BERSATU KABUPATEN ASAHAN

Tuesday 20 February 2018

Ka Kwarcab Pramuka Asahan Ditahan Jaksa

Tersangka AH saat akan diboyong ke Lapas Labuhan Ruku oleh Kejari Asahan

Setelah melalui proses panjang, akhirnya Ka Kwarcab Pramuka Asahan AH ditahan Kejaksaan Negeri Asahan, Senin petang (19/2) sekitar pukul 18.20 WIB.

Hal itu diterangkan Kepala Kejaksaan Negeri Asahan H Robert Hutagalung saat dikonfirmasi melalui Kasi Intel Boby Hariyanto Halomoan Sirait, “pihaknya telah menahan tersangka AH terkait kasus dugaan korupsi dana hibah Rp.1,4 Milyar yang digelontorkan Pemkab Batubara,”jelas Boby Hariyanto.

Tersangka tidak bisa mempertanggungjawabkan pengelolaan dana hibah dari P APBD Pemkab Batubara TA.2015 Rp.1 Milyar dan Rp.400 juta dari APBD TA.2016 dari Pemkab Asahan.

Tersangka ditahan setelah datang memenuhi panggilan Kejari Asahan, “sebelumnya sempat mangkir, namun hari ini setelah datang memenuhi panggilan dan dilakukan pemeriksaan maka dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan dan dititipkan di Lapas Labuhan Ruku,”jelasnya.

Sebelumnya, salah orang mantan andalan (istilah di Pramuka,red) di Kwarcab Pramuka Asahan, Senin (12/2) ketika mengomentari penetapan tersangka oleh pihak Kejaksaan Negeri Asahan sejak tanggal 5 Februari lalu “Dikemanakan, dan tidak mungkin dana sebesar itu dikelola sendiri oleh Kak Amir Hakim yang dikenal sangat loyal dengan atasannya itu,”ujarnya.

Sebagai mantan pengurus di Kwarcab Pramuka Asahan, saya berharap Kak Amir Hakim mau membeberkan dengan gamblang kepada penyidik Kejaksaan terkait dana hibah Pemkab Batubara yang digelontorkan untuk mengganti rugi lahan eks Lemcadika Pramuka Asahan di desa Durian yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Asahan sebelum pemekaran.

“Jangan kotori Gerakan Pramuka dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka, jangan hanya gagah dengan seragam itu jika hatinya bermental korupsi,”tegasnya dengan nada kesal.

Lebih lanjut, mantan andalan itu mengatakan, “melihat kronologis kejadiannya, bukan tidak mungkin kasus ini juga melibatakan pejabat-pejabat penting di dua Kabupaten Asahan dan Batubara, tinggal menunggu keberanian penyidik untuk menyeret oknum-oknum itu hingga ke persidangan,”pungkasnya.


Sumber: AsahanSatu.com

Posisi Politik Jokowi dan Anies Usai Maruarar Pengakuan Bersalah

Persija VS Bali Bersatu 3-0.


Penyerang Persija Jakarta , Marko Simic gol indah. Tim ibu kota menutup babak pertama dengan dua gol di babak pertama atas Bali United. Seisi Stadion Gelora Bung Karno yang dipadati The Jakmania pun bergemuruh.

Di sisi lain pemandangan menarik terlihat. Presiden Joko Widodo yang berada di VVIP menyalami Gubernur DKI Anies Baswedan setiap kali pemain Persija gol gol. Regu begitu menikmati jalannya pertandingan sambil sesekali tertawa.

Namun di akhir pertandingan menguntungkan muncullah yang akhirnya menjadi pembicaraan. Anies tiba-tiba dilarang Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) turun ke lapangan hijau saat Jokowi Lanjutkan Piala Presiden ke Persija yang menang 3-0 di partai final, Sabtu (17/2).

Ada pihak melihat kejadian ini kental nuansa politiknya. Wasekjen DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan kejadian itu karena kesan Jokowi takut berkompetisi di Pemilu 2019 nanti. Terlampaui nama Anies selalu meroket diatas hasil survey.

Peneliti politik dan hubungan internasional, Arya Fernandes menilai kejadian itu sudah ditutup setelah Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018, Maruarar Sirait mencetak kesalahannya. Jika terbang dengan Jokowi juga tidak ditemukan adanya bukti empiris.

"Tentu dari sisi mendorong menjadi bola pembohong itu terkunci. Sinyalir adanya kontestasi Jokowi dan Anies juga tidak ada bukti. Kalau tak ada permintaan maaf sudah kemana mana (isunya)," kata Arya.

Sekarang ini, Arya menilai, posisinya sudah kembali normal. Isu bisa membesar jika Ara sapaan Maruarar mencari pembenaran dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Dengan demikian ada pihak diuntungkan.

"Kalau Ara belum (minta maaf) ke istana. Anies diuntungkan, dipersepsikan orang terzalimi," tuturnya.

Dia pun melihat Jokowi tidak perlu langsung melakukan klarifikasi. "Enggak dibutuhkan. Semua undangan kan dia (Ara) yang atur," tandasnya.

Ara tak bersalah tidak ada catatan nama Anies. Dia pun meminta maaf kepada Jokowi dan Anies akibat kelalaiannya. "Saya yang bersalah Saya tidak bersalah orang yang saya," kata Ara di Pressroom Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (19/2).

"Dan saya mohon maaf kepada Presiden Jokowi dan Gubernur atas ketidaknyamanan ini. Kalau ada salah itu tanggung jawab saya 100 persen," tambahnya.

Dia mencetak, Ara sendiri yang mencatat siapa saja yang mendampingi Jokowi saat memberikan hadiah. Dia menulis nama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menko Polhukam Wiranto, Menpora Iman Nahrawi, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Oesman Sapta, Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan para sponsor.

Dia juga ajak video video Anies untuk turun itu bukan kesalahan pihak Paspampres. Dia merekrut catatan nama Anies.

"Mas Anies tidak ke bawah itu salah saya harusnya menerima hadiah dan ikut menerima hadiah dari presiden Dan itu seharusnya saya lakukan karena saya turun ke bawah semua detail," ungkap Ara.

Anies sendiri tidak mau ambil pusing soal diadang oleh Paspampres. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menjelaskan, dia masih tetap memberikan selamat untuk para pemain Persija tak terduga Jokowi, Menpora dan pejabat negara lainnya.

"Gini, dari tadi malam itu yang penting Persija menang, saya di mana enggak penting yang penting Persija menang. Saya merasa Kumpulkan," katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Minggu (18/2).

Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin buru mengklarifikasi kejadian tersebut. Menurutnya, tindakan yang dilakukan Paspampres merupakan prosedur pengamanan. Karena Paspampres berpegang pada daftar nama pendamping presiden yang disiapkan panitia.

Bey menceritakan, selama pertandingan, Jokowi dan Anies sangat menikmati jalannya pertandingan. Dia menyebut, terjemah dengan rileks dan sangat akrab. Saat menonton, dia menyebut Jokowi juga menyela selamat dan menyalami Anies saat Persija gol gol.

"Tidak ada arahan apapun dari Presiden untuk menghilangkan Anies . Acara ini bukan acara kenegaraan, panitia tidak bisa berlaku instruktur kenegaraan mengenai tata cara pendampingan Presiden oleh Kepala Daerah," kata Bey melalui keterangan tertulis, Minggu (18/2).


Sumber: merdeka.com

Kisah Para Pejuang Kemerdekaan yang Bernasib Suram

Pramoedya Ananta Toer; 1990.

Kisah-kisah yang ditulis Pramoedya banyak yang berasal dari kenyataan sosial di masa revolusi.
Para veteran perang kerap kesulitan, bahkan gagal, menyesuaikan diri dengan kebebasan di masa kemerdekaan.

Setelah perang kemerdekaan berakhir, tak semua kombatan yang berjuang membela Indonesia menjadi berjaya hidupnya. Jiwa keperwiraan yang dipanggul di setiap pertempuran dan sepanjang revolusi, mesti luluh lantak ditekuk kenyataan yang mencegat di garis depan berikutnya.

Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram), yang mengalami masa revolusi dan sempat melewatkannya sebagai kombatan, menulis beberapa cerpen untuk mengabadikan kondisi para mantan pejuang itu. Beberapa di antaranya: "Demam", "Terondol", dan "Jalan Kurantil No. 28", cerpen-cerpen yang relatif kurang dikenal pembaca. 

"Demam" (1950) dan "Terondol" (1947) dihimpun dalam buku Menggelinding 1 yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada 2004, dua tahun sebelum Pram meninggal. Sementara "Jalan Kurantil No. 28" terdapat dalam buku Subuh (pertama terbit tahun 1951).

Pram memang menulis banyak buku, yang dalam kata-katanya disebut sebagai anak-anak rohaninya: ada yang terkenal dan panjang umur, ada juga yang kurang popular atau bahkan mati muda. Namun demikian, ia tak pernah membeda-bedakan anak-anak rohaninya. 

Dalam esai "Kesusastraan dan Perjuangan" yang dimuat dalam Mimbar Penyiaran DUTA tahun 1952 ia menjelaskan, “Kesusastraan sebagai pancaran dari kegiatan jiwa, bahkan perjuangan jiwa, adalah dokumentasi manusia yang tegas.”

Kirno, Oestin, Mahmud AswanKetika Belanda menduduki kota, Kirno serta pasukannya mundur bergerilya ke hutan-hutan di Mantingan. Ia jatuh sebagai korban dan menggelepak di rumah seorang lurah: kakinya buntung, matanya buta. 

Saat perang berakhir, ia mengutuk keadaan dirinya. Kirno menjadi seorang pemarah. Ati, kekasihnya, diusir dari rumah ketika mencoba menemuinya yang mula-mula setelah kecamuk revolusi. Hanya Tini, adiknya, yang menjadi penghibur batin Kirno. Bocah itu kerap disuruhnya bernyanyi untuk mengobati semua luka jiwa.

“Terbayang dalam kepalanya betapa bebasnya dulu mempergunakan kaki dan matanya, sekalipun dalam zaman penjajahan. Ya, sekalipun demokrasi dan kemerdekaan tak diteriakkan orang. Dan dalam negara demokrasi dan merdeka ia kehilangan haknya untuk berjalan dan melihat. Ya, sekalipun demokrasi menjamin kebebasan perseorangan. Sekali lagi ia mengeluh. Sekali lagi. Dan sekali lagi,” tulis Pram. (hlm. 476).

Kedatangan Ati, perempuan yang dipujanya sebelum dan semasa perang, menjadi jalan bagi Kirno untuk menumpahkan segala kekecewaan dan kemarahannya kepada dunia. Hidup, penderitaan, dan segala perasaan yang sesak di dada ia tumpahkan.

“Ati kawan-kawanku mati seorang-seorang dan dilupakan orang. Dan aku pun mati dilupakan orang sekarang. Bukankah itu sudah adat dunia sesudah perang selesai. Ati? Perang selesai dan masing-masing yang masih hidup boleh memperoleh kedudukannya masing-masing dalam masyarakat yang dibentuknya sendiri. Bukankah itu sudah adat dunia sesudah perang, Ati?” (hlm. 477)

Di atas kursi roda (Pram menyebutnya kereta) Kirno terus mengeluarkan segala isi hatinya. Ati sang kekasih barangkali dianggapnya sebagai dunia itu sendiri, tempat semua cita dan bunga harapan bersemi. Dalam kondisi tak berdaya—kemana-mana didorong adiknya, Kirno akhirnya menyerah. Telah habis segala asa. Sudah tumpas semua harap. Namun meski begitu, sebelum ia menyuruh Ati pergi, sempat juga ia mengenangkan sisa-sisa keinginannya. 

“Waktu engkau pergi, aku sudah buta, aku pun sudah tak bisa berjalan lagi, Ati. Ingin betul aku selalu duduk di sampingmu. Ingin betul aku selalu mendengar suaramu. Ati. Tapi jangan datang padaku hanya suara saja. Ya, hanya suaramu saja yang menunjukkan padaku engkau masih ada. Suara—dan perasaan sedikit. Dan kenang-kenangan sedikit. Pergilah engkau, Ati. Pulanglah engkau. Itu lebih baik untukku,” ujarnya. (hlm. 484)

Kisah tersebut ditulis Pram dalam cerpen "Demam" yang pertama kali dimuat dalam Mimbar Indonesiatahun 1950.

Sementara dalam "Jalan Kurantil No. 28" yang dihimpun dalam Subuh (1952), Pram menceritakan seorang mantan serdadu yang meskipun fisiknya masih lengkap, namun kepribadiannya telah hilang.

“Sepatu itu melangkah-langkah jua, pendek-pendek lesu dan tetap. Warnanya hitam-bekas sepatu serdadu Gurkha. Baru sekali ini sepatu itu menciumi aspal Jalan Kurantil. Dulu sepatu itu gagah, mengkilat dan galak juga. Dia pernah menginjak dada bangkai berpuluh-puluh prajurit dari berbagai bangsa dan di berbagai medan perang. Tapi kini sudah hilang keindahan dan kegagahannya. Tumitnya sudah miring. Hitamnya telah berbulu-bulu putih-putih, hidung bopeng-bopeng, dan jahitannya sudah banyak yang rantas. Langkahnya tak tegap lagi, tapi melangkah juga. Di dalamnya tersembunyi kaki yang kecil, tipis, dan kehijau-hijauan, dan di atasnya menjulur betis yang tipis, lutut, paha, kemudian celana pendek militer. Dulu betis itu besar dan bertenaga juga, walaupun tak mengalami perang di mana-mana. Hanya sekali itu mengalami pertempuran, di Jalan Kramat. Perbandingan antara betis dan sepatu besar itu jadi perhatian semua orang yang melihatnya. Tapi betis itu berjalan saja, sekalipun orang menamai kaki kijang atau kaki pinokio.” (hlm. 26)

Teeuw dalam naskahh "Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer" yang dimuat di Jurnal Kebudayaan Kalam 6 Thn. 1995 menjelaskan bahwa kutipan tersebut adalah awal cerita yang amat mengerikan. 

“Awal ceritanya sangat mengerikan, dievokasi dehumanisasi dan desintegrasi seorang manusia; tokoh ini menjadi fungsi ‘bungkusan pakaian’-nya yang serba kumal. Kepribadiannya tidak ada lagi. Ia terdiri dari daging yang dibungkus dalam sepatu dan pakaian lain yang telah ada sejarahnya di luar dia, bahkan badannya sendiri telah tua,” tulisnya. (hlm. 35)

Mahmud Aswan nama mantan serdadu itu. Setelah meringkuk dalam penjara sebagai tawanan perang selama empat tahun, ia pergi ke Jalan Kurantil No. 28 untuk kembali ke pada istrinya tercinta. Namun rupanya tak ada tempat lagi baginya di dunia ini, ia mendapati istri, anak dan rumahnya semuanya telah diambil alih oleh temannya. Mahmud limbung, dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya ia mendekati sungai Ci Liwung dan menceburkan diri. Konon perang telah dimenangkan, tapi bagi Mahmud yang ada hanya kekalahan. Keluarga—yang kata Pram sebagai mula kehidupan manusia, payung yang melindungi keturunan manusia dari hujan dan terik pergaulan hidup, telah direnggut orang lain. 

Dalam "Terondol", cerpen yang pertama kali dimuat dalam Sadar (No. 2 Th. II, 16 Mei 1947), Pram tak berkisah tentang gerilyawan republik, namun orang Indonesia mantan tentara Belanda yang baru pulang tugas dari Australia. Oestin namanya.

Setelah pendudukan Jepang berakhir, ia kembali ke Indonesia hendak menemui keluarganya di kampung. Surat dikirimkan, tapi balasan yang datang membuatnya berdegup. Karena ia dianggap telah mati dalam pertempuran laut, istrinya menikah lagi dan telah menambah dua orang anak.

Kecewa ada, tapi tak lekas membuatnya putus asa. Dikirimkan lagi surat kedua, kali ini meminta agar anaknya diantarkan ke Jakarta. Namun ternyata anaknya tak diizinkan menemui bapaknya. 

“Sekali ini ia menangis. Ia merasa sedih. Karena itu ia merasa hidup kembali. Tetapi ia benci pada hidup seperti itu. Ah! Apalagi kalau ia membuka kopor, tampak setelan piama. Ia mau mengistimewakan keturunannya di antara anak-anak sebayanya. Hambar saja harapannya. Walaupun gunung, kalau dipacul setiap hari, datar juga akhirnya. Demikian pula dengan harapan. Kecewa dan kecewa, berbaris; lemah juga ketabahannya,” tulis Pram. (hlm. 45)

Tak kuat menahan kecewa yang datang bertubi, akhirnya Oestin menyerah. Dadanya dimakan TBC, darah keluar. Seminggu ia tak bangun dari tempat tidur. Habis kesanggupannya, habis harta benda, habis harapan, habis cita-cita, habis segala-galanya. Ia terondol. Seperti ayam tak berbulu kedinginan di dalam hujan.

“Sebulan kemudian perusahaan ibunya bangkrut, badannya! Ia diantarkan kembali, berpatok dua,” tulis Pram. (hlm. 45)

Menanggapi cerita "Jalan Kurantil No. 28", A. Teeuw menyebutnya bukan kisah yang isinya sangat dalam, tapi menunjukkan empati dan simpati Pram bagi korban perjuangan serta keinsafan akan kesia-siaan dan kepercumaan perjuangan kemerdekaan yang konon dimenangkan.


Teeuw menambahkan bahwa berkat penguasaan bahasa, kekuatan gaya, dan keaslian imajinasinya, Pram berhasil mentransformasikan kenyataan revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia tanpa menjadi propagandis revolusi.

“Tidak menyembunyikan kelemahan manusia, individual maupun kolektif, yang tiap kali tergoda hawa nafsu dan keangkaraannya. Justru kejujuran citra revolusi yang disajikan Pramoedya menjadikannya meyakinkan, meningkatnya kredibilitasnya. Manusia dan kemanusiaan, itulah yang akhirnya menjadi pokok, tema utama, dalam kenyataan hulu maupun dalam kenyataan hilir yang kita sebut seni,” tulis A. Teeuw dalam "Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer" yang dimuat di Jurnal Kebudayaan Kalam 6 Thn. 1995.

Cerita Kirno, Oestin, dan Mahmud Aswan adalah kisah manusia-manusia yang menjelempah di hadapan realita. Mereka larut dalam peperangan, memperjuangankan apa yang mereka yakini benar. Namun setelah perang berakhir, harapannya tercabik dan merawankan kemanusiaan.

Para Veteran dalam Fakta dan FiksiTokoh-tokoh yang diceritakan Pramoedya dalam naskah-naskah di atas memang fiksi. Namun karakter-karakternya diambil dari kisah nyata yang dialami dan disaksikan sendiri oleh Pram. 

Masa revolusi antara 1945-1950 (termasuk masa pendudukan Jepang, 1942-1945) seakan menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi Pramoedya. Ia banyak sekali menulis naskah tentang masa-masa bergolak itu. Selain Menggelinding 1 dan Subuh yang beberapa ceritanya diulas di sini, ada juga Percikan Revolusi, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, hingga Perburuan. 

Bukan Pasar Malam, sebagai misal. Novelet itu merupakan kisah nyata yang dialami Pramoedya sendiri. Ditulis dengan setting setelah revolusi berakhir, novelet itu mengisahkan betapa pahitnya kehidupan para kombatan di masa pascarevolusi. Sosok yang diceritakan dalam Perburuan, sebagai misal yang lain, adalah orang sekampungnya sendiri.

Siapa yang diceritakan hidupnya pahit dalam novelet itu? Ya, Pram sendiri.

Topik-topik tentang para mantan pejuang alias veterang perang umumnya menggambarkan kesulitan, bahkan kegagalan, mereka menyesuaikan diri dengan situasi kemerdekaan. Mereka mengalami kegagapan di tengah situasi baru. Dilamun oleh mimpi tentang cerahnya kemerdekaan, mereka justu menghadapi realitas yang tidak mudah: kemerdekaan tidak berarti apa-apa bagi perbaikan nasib mereka. 

Salah satu kisah legendaris tentang nasib para pejuang pascarevolusi adalah Lewat Djam Malam,sebuah film besutan Usmar Ismail yang naskahnya ditulis oleh Asrul Sani. Iskandar, tokoh utama film itu, mengalami depresi karena pengalaman perang yang menghantui dan dipersulit oleh rekan-rekan seperjuangannya yang justru hidup di atas kecurangan dan korupsi.


Sumber: tirto.id

IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia

lustrasi Invasi Utang Luar Negeri

Pada 1992, IGGI bubar karena insiden Santa Cruz di Timor Timur.
Keran pinjaman. Alirkan utang sampai tujuh turunan.

Usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1967, Soeharto dihadapkan kondisi serba tak stabil, terutama di bidang ekonomi. Masalah paling pelik yang dihadapi pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi (mencapai 650 persen) yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.

Hiperinflasi hanya satu dari sekian masalah ekonomi yang harus dihadapi Soeharto. Indonesia Investments, lembaga pemerhati ekonomi Indonesia dari Belanda, dalam laporan berjudul “History of Indonesia: Politics and the Economy Under Sukarno” menyebutkan, pada masa itu Indonesia juga terbebani utang besar sementara di waktu bersamaan ekspor melemah dan pendapatan per kapita menurun secara signifikan.

Pada 1960, melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Sukarno sempat mengeluarkan Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri. Tetapi, pada 1964, strategi itu ditinggalkan sebab situasi ekonomi makin memburuk: inflasi masih tinggi, basis pajak mengikis, arus pemindahan aset finansial ke riil begitu besar, hingga konfrontasi dengan Malaysia yang menyerap sebagian besar anggaran pemerintah.

Sukarno boleh saja mahir dalam bahasa dan retorika, tapi ia gagal mengurus ekonomi. Alih-alih peduli pada masalah ekonomi, ia malah mencurahkan waktunya untuk berpetualang dalam demagogi politik. Reportase majalah The New Yorker (23 November 1968) menyatakan bahwa akibat Sukarno salah urus, Indonesia dihadapkan pada posisi kebangkrutan dan diprediksi akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Soeharto menyiapkan beberapa langkah untuk membebaskan Indonesia dari belitan krisis ekonomi. Mengutip Guy Fauker dalam makalahnya, “The Indonesian Economic and Political Miracle” (1973), langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah mengubah arah haluan ekonomi: dari pro-Timur menjadi pro-Barat. 

Soeharto lantas membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan yang berisikan ekonom dari Universitas Indonesia. Tim ini dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelak, kelompok tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley” dengan kebijakan-kebijakannya yang berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas.

Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers (1984) menjelaskan, rencana pemulihan ekonomi Indonesia dibagi menjadi tiga tahapan: stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan. Tiga tahapan tersebut lalu diwujudkan ke dalam beberapa langkah seperti penghentian hiperinflasi dan memulihkan stabilitas makroekonomi, penjadwalan utang luar negeri, hingga membuka pintu bagi penanaman modal asing.

Pembentukan IGGISetelah keran investasi asing dibuka, langkah berikutnya ialah mencari bantuan luar negeri. Namun, Indonesia mendapat halangan. Beban neraca pembayaran luar negeri sebagai akibat utang yang diwariskan Orde Lama membuat Indonesia sulit memperoleh kreditur maupun pendonor.

Dalam “Survey of Recent Developments” (1966) yang diterbitkan Bulletin of Indonesian Economics Studies, Arndt dan J. Panglaykim menjelaskan, Indonesia tidak mampu membayar cicilan maupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia, terang mereka, bahkan tidak mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda pembayaran kredit perdagangan luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dolar AS.

Dengan kondisi seperti itu, catat Radius Prawiro dalam Indonesia’s Struggle for Economic Development-Pragmatism in Action (1998), Indonesia tidak memiliki kualifikasi cukup untuk memperoleh bantuan kredit luar negeri. Sebagai solusinya, Soeharto kemudian mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas moratorium utang luar negeri. Yang dituju: London dan Paris Club—kelompok informal kreditur di pentas internasional.

Melalui diplomasi yang intensif dalam forum London dan Paris Club, masih menurut Radius, pemerintah Indonesia mengajukan gagasan pembentuk konsorsium negara-negara kreditur untuk Indonesia. Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama bagi pemerintah untuk menjelaskan kebijakan ekonomi macam apa yang bakal ditempuh guna keluar dari krisis.

Setelah berdiskusi panjang-lebar, forum tersebut akhirnya menyetujui adanya moratorium bagi Indonesia. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD pada 1967. Tujuan pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.

Arndt menerangkan, IGGI memberi bantuan dalam wujud program untuk memperkuat neraca pembayaran, baik berupa kredit valuta asing maupun bantuan pangan. Selebihnya, bantuan disalurkan dalam bentuk proyek. Pertemuan pertama IGGI dilakukan pada 20 Februari 1967, tepat hari ini 51 tahun silam, di Amsterdam. Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Sejak diberlakukannya moratorium utang luar negeri dan pembentukan IGGI, catat John Bresnan dalam Managing Indonesia: The Modern Political Economy (1993), kucuran pinjaman terus berdatangan. Pada 1967, misalnya, Indonesia memperoleh pinjaman 200 juta dolar AS. 

Dalam rentang 1967-1969, bantuan luar negeri menyumbang 28% pembiayaan pemerintah. Data USAID 1972 menyebutkan, dari 1967-1969, Belanda memberikan bantuan paling besar yakni 140 juta dolar AS. Kemudian disusul Jerman ($84,5 juta), Amerika Serikat ($41,1 juta), dan Jepang ($10,6 juta). Uang tersebut lalu digunakan untuk memperbaiki perekonomian hingga menggiatkan pembangunan.

Selain itu, saat Pertamina terlilit utang 40 juta dolar AS kepada The Republic National Bank of Dallas pada 1976, IGGI, seperti ditulis Bresnan, berjanji memberikan bantuan pembiayaan darurat sebanyak 1 miliar dolar AS. Uang itu digunakan untuk melunasi utang sekaligus menutup biaya proyek Pertamina seperti pabrik baja Krakatau Steel dan proyek LNG.

Cyrillus Harinowo dalam Utang Pemerintah: Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya (2002) menyebut, IGGI berfungsi sebagai kasir pemerintah Indonesia sekaligus penasihat dalam pelaksanaan pembangunan. Lembaga ini mengadakan pertemuan rutin tiap tahun untuk membahas serta mengevaluasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi maupun pembangunan.

Setelah mengalami masa kemesraan yang lama, Indonesia dan IGGI pecah kongsi pada 1992. Thomas Lindblad dalam Indonesia: A Country Study (2011) mengatakan, pemicu putusnya hubungan IGGI dan Indonesia adalah tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada November 1991. Kala itu, tentara menembaki warga saat berlangsung upacara pemakaman aktivis pro-kemerdekaan bernama Sebastiao Gomez. Korban tewas dalam tragedi itu, menurut versi pemerintah Indonesia, “hanya” 50 warga sipil. Sementara versi laporan lainnya, warga sipil yang tewas mencapai 273.

Imbasnya, Belanda yang saat itu jadi koordinator IGGI menangguhkan bantuan ke Indonesia. Aksi Belanda lalu disusul Denmark dan Kanada sebagai wujud kecaman. Soeharto yang melihat aksi cabut bantuan tersebut lantas berang. Ia merasa tersinggung. Pada Maret 1992, Soeharto menegaskan sikap bakal menolak semua bantuan ekonomi, terutama dari Belanda.

Akan tetapi, sikap tegas pemerintah tak berlangsung lama. Prawiro menyebutkan, Indonesia masih membutuhkan bantuan luar negeri. Maka dari itu, dibentuklah CGI (Consultative Group on Indonesia) yang diprakarsai Bank Dunia dan diketuai Jepang. 

Anggota CGI, jelas Pranowo, merupakan bekas anggota IGGI kecuali Belanda. Fungsi utama CGI adalah sebagai forum bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan lembaga internasional dan negara-negara pendonor.

Sepak terjang CGI terlihat menonjol saat krisis ekonomi 1998. Sebagaimana ditulis Lindblad, CGI berperan penting dalam memfasilitasi restrukturisasi utang internasional selama krisis Asia dengan pinjaman sebesar 8 miliar dolar AS.

Kiprah CGI berhenti pada 2007 ketika presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta CGI dibubarkan. Alasannya, mengutip Thee Kian Wie dalam Pembangunan, Kebebasan, dan ‘Mukjizat’ Orde Baru: Esai-Esai, ialah waktunya bagi Indonesia untuk mampu merancang dan menjalankan sendiri program ekonomi secara mandiri.

Ketergantungan dan Kepentingan
Relasi antara Indonesia dan IGGI menandakan dua hal. Pertama, ada kepentingan IGGI di balik bantuan yang diberikan. Kedua, relasi dengan IGGI membuat Indonesia terjebak dalam ketergantungan utang kepada negara-negara Barat.

Andrew Mack dalam tesisnya di University of Sydney berjudul Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation (2001) menjelaskan, terdapat tujuan tertentu di balik dukungan negara-negara donor kepada Indonesia. Frasa “tujuan tertentu” yang dimaksud Mack ialah negara-negara pendonor tersebut meminta timbal balik kepada Indonesia berupa penguasaan sektor-sektor industri penting.

Mack menjelaskan, jatah yang diminta negara-negara pendonor berdampak pada tidak diberikannya ruang bagi perusahaan lokal untuk mengelola industri ekstraktif dengan produksi keuntungan yang tinggi. Kepentingan asing di Indonesia telah memaksa perusahaan lokal tunduk pada status perusahaan asing sebagai produsen-korporat di Indonesia serta agen pemasaran produk.


Selama masa pembangunan Orde Baru, tambah Mack, hubungan antara pemodal internasional, pendonor, dan pemerintah telah menutup kemungkinan bagi pengusaha atau perusahaan lokal menguasai sektor-sektor ekonomi penting.

Efek buruk ketergantungan terhadap utang luar negeri juga terasa ketika krisis ekonomi melanda. Pada 15 Januari 1998, Indonesia meminta bantuan IMF untuk menyelamatkan kondisi perekonomian. IMF pun setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral yang diberikan secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43 miliar dolar AS. Namun, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya keharusan pemerintah Indonesia melikuidasi 16 bank yang "sakit".

Kenyataannya, likuidasi bank malah memicu penarikan dana besar-besaran (rush) oleh nasabah yang panik dan menciptakan situasi di mana tingkat kepercayaan investor menurun. Hasilnya: utang domestik Indonesia membumbung sampai angka 80 miliar dolar AS saat itu.

Semenjak kejatuhan Orde Baru, pemerintah masih terus bergantung pada IMF. Setidaknya, sepanjang periode 1997-2003, Indonesia sudah meneken 26 kali kesepakatan dengan IMF. Berselang tiga tahun, saat pemerintahan SBY, utang Indonesia kepada IMF dilunasi.

Lunasnya utang Indonesia kepada IMF bukan berarti menghentikan ketergantungan Indonesia akan pinjaman dari negara donor. Ketergantungan tersebut diteruskan pemerintahan Jokowi. 

Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pada Juni 2017, Indonesia memiliki utang kepada pihak-pihak terkait seperti Islamic Development Bank (Rp9,95 triliun), Jerman (Rp24,3 triliun), Perancis (Rp24,3 triliun), Jepang (Rp196,98 triliun), Amerika (Rp8,26 triliun), sampai Bank Dunia (Rp234,68 triliun). 

Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 317,08 miliar dolar AS. Jumlah ini 2,04 persen lebih besar dari tahun sebelumnya (310,73 miliar).

Mengapa pemerintah terus berutang? Kementerian Keuangan dalam paparannya pernah menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Defisit muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran.


Sumber: tirto.id

Tuesday 6 February 2018

DPD PEKAT IB Asahan Apresiasi Pengungkapan Narkoba


Ditempatkannya narkoba sebagai musuh dan harus diperangi secara bersama – sama di bumi Rambate Rata Raya merupakan langkah yang tepat, tekad mengenolkan yang ditargetkan Kapolres Asahan AKBP Kobul Syahrin Ritonga harus didukung.

Hal itu dikatakan Ketua DPD Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT IB) Asahan, Syaid Muhsyi, Senin (5/2) saat mengapresiasi keberhasilan pengungkapan kasus penyalagunaan narkoba oleh Polres Asahan baru – baru ini.

“Tekad mengenolkan narkoba yang digagas mantan Kapolres Dairi itu bukan hanya isapan jempol, terbukti sudah ratusan pelaku penyalahgunaan narkotika dijebloskan kedalam sel tahanan dan puluhan korban yang direhabilitasi,”ungkap Syaid Muhsyi.

Menurut tokoh muda yang memiliki integritas, berbagai trobosan sudah dilakukan untuk menghancurkan jaringan pengedar barang haram itu seperti membentuk Tim Paus yang melibatakan penggiat anti narkoba dan pemerintahan,” kinerja tim yang mendapat sokongan dari Pemkab Asahan itu membuahkan hasil yang bisa dibanggakan,”ujarnya.

Diketahui juga, guna memperkuat Sat Narkoba, Kapolres Asahan juga tampak membentuk Tim Khusus (Timsus) yang dikendalikan oleh Kasat Intel, “PEKAT IB memandang, AKBP Kobul Syahrin Ritonga benar – benar mempunyai tekad yang kuat untuk membasmi narkoba di Asahan,”tambahnya.

Kami memandang, sudah layak Kapoldasu Irjen Paulus Waterpauw memberikan apresiasi terhadap kinerja AKBP Kobul Syahrin Ritonga yang mempunyai tekad memberantas peredaran narkoba, pungkasnya mengakhiri pembicaraan.


Monday 5 February 2018

Tegas! UI Merespon Pernyataan Jokowi yang Akan Kirim BEM ke Asmat


Seperti diketahui, sebelumnya, Presiden RI Ir. Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan pernyataan akan mengirim pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI ke Asmat, Papua. Jokowi menuturkan niatannya tersebut usai menghadiri Haul Majemuk Masyayikh di Pondok Pesantren Salafiyah Safi`iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, pada Sabtu (03/02/2018). Bagaimana tanggapan civitas akademik Universitas Indonesia (UI) menyusul pernyataan tersebut?

“Mungkin nanti ya, mungkin nanti saya akan kirim semua ketua dan anggota di BEM untuk ke Asmat, dari UI ya,” ujar Presiden Joko Widodo sebelumnya, Sabtu (03/02/2018). Demikian seperti dikutip dari reportase Republika.co.id, Senin (05/02/2018).

Menanggapi pernyataan orang nomor satu RI tersebut, UI melalui program pengabdian masyarakatnya menerangkan akan mendukung keinginan Presiden.

“Alhamdulillah, kami mendukung BEM UI ataupun civitas akademik UI untuk terjun langsung ke masyarakat,” tukas Rifelly Dewi Astuti selaku Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI saat dihubungi tim jurnalis pada Minggu (04/02/2018) kemarin.
Sebelumnya Sudah Berkiprah di Papua

Dengan tegas Rifelly menyampaikan, Universitas Indonesia tentu akan mendukung keinginan Presiden Jokowi karena hal ini merupakan bagian dari upaya pengabdian masyarakat sebagai salah satu Tridarma Perguruan Tinggi.

“Civitas akademik UI juga telah banyak yang berkiprah di Papua, dari bidang kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya,” urainya menjelaskan.

Sebelumnya, diketahui bahwa Presiden Jokowi memberikan pernyataan tersebut untuk merespon aksi Ketua BEM UI Zaadit Taqwa yang mengacungkan kartu kuning saat Presiden menghadiri Dies Natalis UI di Kampus UI, Depok, Jumat (02/02/2018) lalu.


Kartu kuning itu diberikan sebagai peringatan kepada Presiden Jokowi atas berbagai permasalahan yang terjadi di dalam negeri, termasuk soal masalah gizi buruk di kabupaten Asmat, Papua.

Rifelly mengutarakan, aksi Ketua BEM Zaadit Taqwa tersebut terjadi bukan di ranah akademik. Dengan demikian, UI tidak menurunkan sanksi kepada yang bersangkutan.

“Segala pelanggaran etika dan kode etik akan diselesaikan sesuai aturan yang berlaku di UI. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mendidik dan memberikan pemahaman yang baik, sehingga para mahasiswa bukan saja menjadi lulusan yang berilmu, namun juga berkarakter baik,” ucapnya.

Demikian juga, seperti dilansir dari Kompas.com, dikatakan bahwa pihak kampus melalui Direktorat Kemahasiswaan hanya akan membina Zaadit dengan cara yang persuasif saja.

“Hanya kami beri pembinaan, kita didik agar mengungkapkan pendapat itu mesti dengan cara yang baik,” lanjut Rifelly.

Sekaligus, Rifelly juga meminta agar publik tidak membesar-besarkan peristiwa ini. Menurut pihak kampus, kejadian ini bukan peristiwa signifikan sehingga tak perlu menjadi polemik.
Akan Dipanggil Untuk Diskusi

Sementara itu, mengutip Detik.com, UI disebutkan akan memanggil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Zaadit Taqwa.

“Nanti akan kita panggil, kita ajak diskusi gitu kan,” ungkap Direktur Kemahasiswaan UI Arman Nefi di Balairung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (03/02/2018).


UI sendiri menyesalkan aksi yang dilakukan Zaadit. UI berharap kejadian serupa tak terulang, apalagi jika mengingat hal itu terjadi dalam forum resmi.

“Kami dari UI menyesalkan sekali kejadian seperti itu nggak baik dan nggak elok untuk seorang calon sarjana di tengah acara yang sangat resmi lakukan aksi seperti itu. Kami berharap aksi-aksi kekritisan dapat disampaikan, ada wadahnya ada forum yang tepat, dengan demikian UI menyesalkan kejadian itu,” urai Arman.

Berikuti Video Pemberian Kartu Kuning Tersebut:



Sumber: suratkabar.id

Tak Kalah Menohok, Ini Jawaban BEM UI Setelah Jokowi Berencana Kirim Mereka ke Papua


Usai insiden pemberian ‘kartu kuning’ kepada Jokowi di acara Dies Natalis ke-86 UI berlalu, Presiden Joko Widodo berencana untuk mengirim BEM UI ke Asmat, Papua. Merespon rencana tersebut, Eto Idman selaku Wakil Ketua BEM UI menuturkan pernyataan menohok. Betapa tidak, rupanya justru pihak mereka memang sudah berencana untuk berangkat ke Asmat sebelum Presiden menyampaikan hal ini.

“Kalau dari kami rencananya memang ada konsentrasi untuk Asmat. Nanti kami akan ada tindak lanjut kalau dari BEM,” beber Eto, Sabtu (03/02/2018), saat diminta konfirmasi oleh wartawan, seperti dilansir dari reportase Detik.com, Minggu (04/02/2018).

Menurut Eto, pihaknya sudah mulai mempersiapkan keberangkatan ke Asmat sebelum ada wacana dari Presiden Jokowi. Salah satu persiapan yang mereka lakukan yakni dengan menjalin kerjasama dan penggalangan dana.

“Kami dari BEM UI memang bekerja sama dengan beberapa pihak, kami belum pasti nanti akan bagaimana, tapi yang pasti nanti ada anggota BEM yang ke Asmat langsung, kemudian yang pasti mungkin ada penggalangan dana atau barang-barang. Tapi belum fix, pasti akan kami publikasikan dalam waktu dekat,” urai Eto.

Eto melanjutkan, terkait permasalahan gizi buruk dan campak di Asmat yang tengah terjadi, BEM UI memang ingin terjun langsung turun tangan.

Seperti diketahui sebelumnya, isu permasalahan yang tengah menimpa Asmat menjadi salah satu poin yang dipermasalahkan BEM UI menyusul kartu kuning yang diacungkan sang Ketua BEM, Zaadit Taqwa. Insiden ini terjadi saat Jokowi menyampaikan pidatonya di kampus UI.

“Kami sudah ada rencananya ke situ, jadi kami tidak hanya cari perhatian saja, kami kemarin itu ada kajiannya, kemudian kami juga ingin melakukan secara langsung kasus yang di Asmat. Bidang Sosial Massyarakat BEM UI Insha Allah sudah memulai berjejaring untuk mengarah ke situ,” beber Eto menambahkan.

Menyoal rencana Jokowi yang akan mengirim BEM UI, Eto enggan menanggapi lebih jauh—termasuk mengenai keberangkatan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa ke Asmat.

“Saya belum tahu, kalau seperti itu kan berarti harus ada suratnya. Terus nanti masalah berangkat atau tidak, itu hak pribadi dari ketua BEM-nya. Kalau saya kan wakil, yang diundang kan dia. Bukan saya, bukan anak-anak BEM yang lain. Jadi saya belum tahu apakah itu komentar Pak Jokowi saja atau bagaimana,” terang Eto blak-blakan.
Saksikan Sendiri Medannya

Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi menanggapi terkait aksi pemberian kartu kuning dari Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa kepada dirinya. Masalah kondisi Asmat saat ini menjadi salah satu dari 3 hal yang dipersoalkan dari aksi kartu kuning Zaadit. Sehingga dengan demikian, kemungkinan besarnya, Jokowi akan mengirim yang bersangkutan ke Asmat, Papua.

“Mungkin nanti, mungkin nanti. Mungkin nanti ya. Saya akan kirim. Mungkin ketua dan anggota-anggota di BEM ke Asmat. BEM UI ya,” tukas Jokowi kepada jurnalis di Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jatim, Sabtu (03/02/2018).

Presiden Joko Widodo ingin agar pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) ikut melihat dan menyaksikan kondisi yang ada di Kabupaten Asmat, Papua, agar dapat meninjau langsung bagaimana keadaan yang sesungguhnya di sana.

“Biar lihat dapat bagaimana medan yang ada di sana kemudian problem-problem besar yang kita hadapi di daerah-daerah terutama Papua,” lanjut Presiden, seperti dilansir dari laman Kompas.com.

Terlepas dari hal itu, mengenai aksi ‘kartu kuning’ mahasiswa UI, Presiden merasa tak perlu mempermasalahkannya.

“Ya yang namanya aktivis muda ya, namanya mahasiswa dinamika seperti itu biasalah, saya kira ada yang mengingatkan itu bagus sekali,” tandas Presiden.

Kendati begitu, pada Jumat kemarin, Jokowi sama sekali tak menggubris aksi mengangkat map kuning dan peniupan peluit yang dilakukan oleh Zaadit. Akhirnya, mahasiswa Fakultas MIPA tersebut diamankan ke luar ruangan oleh pasukan pengamanan presiden (paspampres).



Sumber: suratkabar.id

Sunday 4 February 2018

Pilih Rumah DP 1 Persen Jokowi, Atau DP 0 Rupiah Anies?

Ilustrasi

Rusun DP 0 rupiah unggul dalam lokasi dan akses, rumah DP 1 rupiah unggul dalam harga

Rumah DP 1 persen program Jokowi dan DP 0 rupiah Anies sama-sama menggiurkan. Tapi mana yang lebih untung?

Yuni Khotimah segera berpikir ulang ketika menerima penjelasan dari petugas di pusat informasi Klapa Village soal harga rusun DP 0 rupiah yang dicanangkan pemerintahan DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Ia terbayang jumlah cicilan yang harus dibayarkan setiap bulan selama dua puluh tahun.

“Suami saya kerja, saya juga kerja, sih. Tapi kalau harus bayar Rp2,6 juta per bulan, mikir dulu, deh,” katanya.

Ibu satu anak ini, yang masih tinggal bersama orangtuanya di Duren Sawit, harus benar-benar mempertimbangkannya. Ia dan suaminya sudah berencana membeli rumah sejak dua tahun lalu. Mereka bahkan sudah menabung dan menjajaki beberapa perumahan baru di sekitar daerah selatan Jakarta. Sayangnya, harga yang ditawarkan masih jauh dari penghasilan mereka.

Pilihan yang mereka punya adalah mencari rumah program pemerintah yang biasanya mendapatkan subsidi. Sebelum menyambangi pusat informasi rumah DP 0 persen, mereka sudah lebih dulu mencari informasi program rumah DP 1 persen untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

“DP 1 persen ini tertarik, tapi lokasinya itu yang jauh, sementara saya dan suami kerja di Jakarta,” kata Yuni, yang sehari-hari bekerja sebagai kasir di sebuah toko swalayan.

Akses LokasiProgram rusun DP 0 rupiah dan rumah DP 1 persen sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan, seperti yang disampaikan oleh Yuni Khotimah. Jika dilihat dari akses dan lokasi, rusun DP 0 rupiah yang dicanangkan Anies lebih menarik mengingat lokasinya di Jakarta.

Rusun pertama, yang akan dibangun dan ikut program DP 0 rupiah, berada di lokasi yang strategis, di pinggir jalan, dekat pasar dan akses transportasi, angkot, pintu tol lingkar luar Jakarta, dan jaringan kereta komuter. Jarak lokasi ke stasiun Cakung hanya sekitar 3 kilometer. Rencananya jalur TransJakarta juga segera melintasi depan rusun.

Sebelum diikutkan program rusun DP 0 rupiah, PD Pembangunan Sarana Jaya memang sudah mengalokasikan lahan di sana untuk apartemen. PD Sarana Jaya sudah bekerja sama dengan PT Gemilang Usaha Terbilang, sebuah pengembang apartemen di Jakarta, pada 2015. Sayangnya, selama dua tahun terakhir, pembangunan apartemen ini belum juga terealisasi.

Sementara sebagian besar rumah DP 1 persen berada di sekitar kota penyangga Jakarta seperti di Banten, Bogor, Depok, dan Tangerang. Salah satu lokasi yang unit rumahnya masih tersedia ada di Cikarang, dekat dengan pintu tol dan Stasiun Cikarang. 

Meski dekat dengan stasiun, tetapi layanan kereta rel listrik belum maksimal karena masih terbatasnya kereta dengan rute dari dan ke Cikarang. Karena jaraknya jauh, perjalanan ke Jakarta memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan dengan KRL.

Bagaimana soal harga?Harga rusun DP 0 rupiah memang jauh lebih mahal: Rp185 juta untuk tipe 21 dan Rp320 juta tipe 36. Sebaliknya, harga rumah DP 1 persen sebesar Rp135 juta untuk tipe 36/60 dan Rp100 juta untuk tipe 22/60. 

Besaran cicilan bunga yang harus dibayarkan saban bulan pun berpengaruh besar pada total angsuran selama 20 tahun.

Lewat aplikasi simulasikredit.com terhadap dua program tersebut, dengan asumsi keduanya dikenai bunga 5 persen sesuai FLPP dan tenor 20 tahun, hasilnya sebagai berikut:

Pertama untuk rusun DP 0 rupiah tipe 36. Setiap bulan angsuran harga pokok Rp1,3 juta, angsuran bunga Rp1,3 juta, sehingga total cicilan per bulan sebesar Rp2,6 juta. Total, setelah mengangsur 20 tahun, pembeli merogoh kocek Rp640 juta atau dua kali lipat dari harga rumah.

Adapun untuk rumah DP 0 rupiah tipe 21: angsuran pokok bulanan Rp770 ribu dan angsuran bunga Rp770 ribu, sehingga cicilan per bulan menjadi Rp1,5 juta. Totalnya, kita harus membayar Rp370 juta atau dua kali harga jual.

Kedua untuk rumah DP 1 persen tipe 36. Dari harga Rp135 juta, angsuran pokok per bulan menjadi Rp506 ribu, angsuran bunga RP506 ribu, sehingga cicilan per bulan menjadi Rp1,012 juta. Total, setelah mengangsur 20 tahun, pembeli membayar Rp244 juta. Jumlah ini tak sampai dua kali harga jual rumah.

Sementara untuk rumah DP 1 persen dengan harga Rp 100juta: cicilan pokok bulanan sebesar Rp375 ribu, angsuran bunga Rp375 ribu, totalnya Rp750 ribu per bulan. Setelah 20 tahun, pembeli mengeluarkan total angsuran Rp181 juta.


Soal PreferensiHasil dari simulasi itu menunjukkan bahwa bunga karena tidak ada uang muka bikin pembeli harus membayar dua kali lipat harga rumah. Namun, belum berarti rumah murah DP 1 persen menjadi lebih banyak diminati.

Muhammad Sofyan, warga Condet, justru tidak minat dengan harga miring yang ditawarkan lewat DP 1 persen. Ia curiga dengan kualitas bangunan jika harganya hanya berkisar Rp100juta.

“Itu adonan semen atau adonan bakso? Kalau ditiup angin, kabur, ya ngeri juga,” kata dia.

Meski tak berminat dengan rumah DP 1 persen, ia tak lantas memilih rumah DP 0 rupiah. Alasan privasi dan harga yang selangit bikin ia ogah ikut mengambil program rusun DP 0 rupiah.

“Kalau harga segitu masih bisa dapat rumah di pinggiran Jakarta,” tambah Sofyan.

Sandya Windhu berbeda pendapat dengan Sofyan. Ia sudah memilih membeli rumah DP 1 persen di Cikarang. “Karena dapat tanah, kalau di rusun itu kita enggak punya tanah. Soal harga juga jauh banget, masih lebih terjangkau yang DP 1 persen,” ujarnya.

Meski demikian, Sandya tidak memungkiri permasalahan akses transportasi dan jarak. Namun, ia percaya dalam beberapa tahun lagi, akses transportasi bakal lebih mudah setelah pembangunan LRT dan MRT selesai. “Sekarang Cikarang juga sudah ada KRL, jadi sebenarnya tidak masalah."

Jadi, bagaimana dengan Anda: pilih program rusun DP 0 rupiah atau rumah DP 1 persen?


Sumber: tirto.id