Sentot Alibasyah Prawiradirja, putera Raden Rangga yang menjadi panglima Perang Jawa.
Jasad Raden Rangga dikubur di Banyu Sumurup, pemakaman khusus para pemberontak.
Raden Rangga Prawiradirja III memilih mati di tangan sendiri daripada menyerah atau dibunuh Belanda.
Pertengahan November 1810, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels memerintahkan Sultan Hamengkubuwana (HB) II agar membawa menantunya, Raden Rangga Prawiradirja III, ke Batavia. Daendels memutuskan bahwa Raden Rangga telah melakukan kesalahan berat sehingga harus dihukum mati.
Raden Rangga tentu saja menolak menyerahkan nyawa. Dari istana Kesultanan Yogyakarta, ia bergegas pulang ke Madiun, menghimpun kekuatan, dan mempersiapkan diri untuk melawan Belanda hingga titik darah penghabisan. Raden Rangga merasa tidak bersalah, kaum penjajah-lah yang terlebih dulu mencari gara-gara.
Akhirnya, perlawanan—pihak Belanda menyebutnya pemberontakan-Raden Rangga pun dimulai. Situasi ini membuat Sultan Hamengkubuwana II berada dalam posisi sulit dan nantinya justru merugikan dirinya sendiri. Menantu tersayangnya tewas dan dicap sebagai pemberontak. Sang sultan pun harus kehilangan takhta.
Kesetiaan Trah PrawiradirjaSejak 1795, Raden Rangga Prawiradirja III menjabat sebagai Bupati Karesidenan Madiun di Jawa Timur yang bernaung di bawah Kesultanan Yogyakarta. Ia meneruskan tanggung jawab dari kakek kemudian ayahnya, yakni Prawirasentika atau Raden Rangga Prawiradirja I (1760-1784) dan Mangundirja atau Raden Rangga Prawiradirja II (1784-1790).
Menurut Purwadi dalam Babad Giyanti: Sejarah Pembagian Kerajaan Jawa (2008), relasi trah Prawiradirja dengan Kesultanan Yogyakarta sangat erat. Raden Rangga Prawiradirja I adalah pendukung setia Pangeran Mangkubumi yang nantinya menjadi raja pertama Yogyakarta bergelar Sultan Hamengkubuwana I sesuai hasil Perjanjian Giyanti tahun 1755 (hlm. 277).
Kesetiaan dan hubungan baik itu dijaga serta berlangsung turun-temurun. Raden Rangga Prawiradirja III semakin memantapkannya dengan menikahi salah seorang putri Sultan Hamengkubuwana II, Raden Ayu Maduretna. Tak hanya itu, Raden Rangga III juga dipercaya sebagai penasihat politik sultan.
Kelak, setelah Raden Rangga III tewas pada 1810, relasi dengan Kasultanan Yogyakarta tetap terawat kendati ia dicap sebagai pemberontak. Puteri Raden Rangga dikawini oleh Pangeran Dipanegara yang tidak lain adalah cucu Sultan Hamengkubuwana II.
Selain itu, putranya, yakni Sentot Alibasyah Prawiradirja, nantinya menjadi panglima tertinggi pasukan Dipanegara saat mengobarkan perlawanan terhadap Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830).
Gara-gara Ambisi DaendelsPerlawanan Raden Rangga terhadap Belanda tentu saja bukan tanpa alasan. Semua itu justru berawal dari ulah Belanda sendiri. Ambisi Gubernur Jenderal Daendels membangun jalan raya dari ujung ke ujung Pulau Jawa, atau dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo), mengusik area Karesidenan Madiun yang dipimpin Raden Rangga.
Terlepas dari itu, Bupati Madiun ini sebenarnya memang sudah kesal terhadap Belanda yang sewenang-wenang dan menginjak-injak martabat rakyat dan merusak tatanan di tanah Jawa. Ia menganggap kehadiran mereka telah menodai Jawa, karena itu harus dibersihkan.
Kebijakan Daendels membangun jalan raya di pesisir utara Jawa membuat Raden Rangga habis kesabaran. Jalur yang disebut Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) itu mulai dibangun pada awal kepemimpinan Daendels selaku penguasa tertinggi Hindia Belanda.
Dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014), Jan Breman menyebut bahwa pekerjaan besar itu telah menelan belasan ribu korban jiwa dari orang-orang lokal yang dijadikan pekerja paksa tanpa dibayar (hlm. 113). Kendati begitu, jalan yang dibangun Daendels kelak menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Indonesia.
Daendels mendesak Sultan HB II memberikan akses dibukanya hutan jati di kawasan timur yang tidak lain adalah wilayah Raden Rangga. Gubernur Jenderal itu, menurut Peter Carey dalam Asal-Usul Perang Jawa (2004), mengunjungi Sultan pada 1909 dan berusaha memaksakan monopoli atas penebangan jati di kawasan tersebut (hlm. 7).
Selain itu, Daendels juga memercikkan perpecahan di lingkungan keraton. Ia menghasut patih istana, Danureja II, dan putera mahkota, yakni Raden Mas Suraja (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwana III, ayah Pangeran Dipanegara). Dua sosok berpengaruh itu diminta mendukung rencana Belanda dengan iming-iming yang menggiurkan.
Situasi ini membuat internal Kesultanan Yogyakarta terpecah menjadi dua kubu. Raden Rangga setia berdiri di belakang Sultan Hamengkubuwana II, berhadap-hadapan dengan kubu Patih Danureja II dan putera mahkota yang disokong Belanda.
Persiapan Melawan BelandaRaden Rangga III mulai melakukan manuver untuk menghambat ambisi Daendels yang ingin membabat hutan jati milik rakyat di wilayahnya. Pada Desember 1808, jalur kereta api yang dilewati pejabat Belanda utusan Daendels dipotong. Hal ini tentu saja membuat Daendels murka.
Selain itu, di sejumlah daerah yang termasuk wilayah Karesidenan Madiun sering terjadi tindak kriminal yang menjadikan orang-orang Belanda sebagai sasaran. Menurut Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (2014), Daendels yakin bahwa Raden Rangga ada di balik rangkaian aksi yang merugikan pihak Belanda itu.
Keadaan semakin keruh karena campur tangan Susuhunan Pakubuwana (PB) IV. Ia mengirim surat kepada Daendels agar Belanda menangkap Raden Rangga dan menghukumnya. Namun, Sultan HB II berupaya melindungi menantu sekaligus penasihat politiknya itu.
Pada Oktober 1810, Raden Rangga pun memutuskan pulang ke Madiun untuk memperkuat pertahanan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diserang Belanda. Sultan HB II secara diam-diam membantu persiapan Raden Rangga meskipun tetap bersikap kooperatif di hadapan Daendels demi terjaganya stabilitas istana.
Bahkan, seperti diungkap Peter Carey dalam artikelnya di majalah Tempo (17-23 Agustus 2015) berjudul “Raja yang Peduli Leluhur dan Sejarah Yogyakarta-Madiun”, Sultan HB II sebenarnya sudah bersiap-siap merancang perlawanan yang lebih besar jika "pemberontakan" Raden Rangga berhasil dilakukan (hlm. 118).
PB IV ternyata mendukung rencana tersebut dan saling berkirim surat dengan HB II. Raja Surakarta ini rupanya juga bermain di dua kaki karena ia berhubungan baik pula dengan Belanda.
Daendels ternyata mencurigai Sultan HB II. Maka, awal November 1810, ia mendesak HB II untuk membawa menantunya itu ke Batavia. Perintah Gubernur Jenderal ini justru disikapi frontal oleh Raden Rangga dengan mempersiapkan pasukan. Daendels semakin murka dan berencana menghukum mati Raden Rangga jika tertangkap.
Pahlawan Atau Pemberontak?Perang antara pasukan Raden Rangga melawan Belanda dimulai pada 20 November 1810. Raden Rangga sebelumnya telah mengirimkan surat kepada Kasultanan Yogyakarta yang menyatakan bahwa dirinya tidak bermaksud menentang Sultan meskipun sang raja masih terikat kontrak politik dan harus kooperatif dengan Belanda.
Keputusan Raden Rangga semata-mata sebagai bentuk perlawanannya terhadap Belanda karena telah mencemari tanah Jawa dengan kebiadaban, termasuk ambisi membabat hutan jati milik rakyat serta mempekerjakan paksa penduduk, baik lokal maupun keturunan Tionghoa.
Di Yogyakarta, Sultan HB II berada dalam situasi sulit karena dicurigai Daendels mendukung Raden Rangga. Maka itu, demi meredam kecurigaan, seperti dicatat Djoko Marihandono dan Harto Juwono dalam Sultan Hamengku Buwono 2 (2008), Sultan mengirim 1.000 orang prajurit dan 12 kavaleri untuk membantu Belanda menghadapi pasukan menantunya sendiri (hlm. 167).
Belanda unggul segala-galanya dalam peperangan itu. Pasukan Raden Rangga terus terdesak. Namun, mereka ogah menyerah dan terus mencari celah agar bisa lolos dari kejaran Belanda sembari mencari kesempatan menyerang balik.
Pasukan Rangga pun mundur ke barat hingga tepi Bengawan Solo di daerah Kertosono (dekat Nganjuk). Pada 10 Desember 1810 itu, hanya sekitar 100 prajurit yang tersisa. Sebagian besar keluarga Raden Rangga sudah tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta.
Sultan HB II, atas desakan Patih Danureja II yang berkubu dengan Belanda, mengirim pasukan ke Kertosono yang dipimpin Pangeran Dipakusuma, salah seorang cucu sultan. Sementara itu, pasukan Belanda mengejar dari arah timur.
Dalam posisi terjepit, Raden Rangga III akhirnya berhadapan dengan Pangeran Dipakusuma yang terhitung masih kerabatnya. Rangga meminta Dipakusuma untuk berduel satu lawan satu, dan bila perlu membunuhnya sebelum pasukan Belanda datang.
Seperti dituliskan Moelyono Sastronaryatmo dalam Babad Mangkubumi (1981), Raden Rangga menegaskan bahwa ia lebih baik mati berkalang berkalang tanah daripada menyerahkan batang lehernya kepada Belanda (hlm. 238).
Dipakusuma sempat bertanya, mengapa Raden Rangga nekat melawan Belanda sekaligus membuat Sultan HB II terpaksa turun tangan? Dijawab, ia tidak bermaksud menyusahkan Sultan dan rakyat Jawa. Sebaliknya, Raden Rangga hanya ingin menumpas siapa saja yang telah menyusahkan rakyat Jawa.
Tanggal 17 Desember 1810 itu, Raden Rangga gugur. Ia menusuk perutnya sendiri dengan tombak dan kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Dipakusuma sesaat sebelum menghembuskan nafas penghabisan.
Jasad Raden Rangga tiba di Yogyakarta pada 21 Desember 1810. Dengan berat hati, Sultan HB II memerintahkan agar jenazah menantunya itu digantung di alun-alun, selayaknya perlakuan terhadap pembangkang. Jasadnya pun dikuburkan di kompleks pemakaman pemberontak di Banyu Sumurup, dekat Imogiri.
Sial bagi Sultan HB II. Meski sudah berbuat tak pantas terhadap Raden Rangga bahkan sampai sang menantu mati, Sultan tetap dicurigai Belanda. Daendels menurunkannya secara paksa dari takhta dan mengangkat putra mahkota, Raden Mas Suraja, sebagai raja baru dengan gelar Hamengkubuwana III.
Satu setengah abad kemudian, tepatnya pada 1957, raja Yogyakarta saat itu, Sultan Hamengkubuwana IX, memerintahkan jasad Raden Rangga dipindahkan ke tempat yang semestinya. Sultan yang nantinya menjadi Wakil Presiden RI ini lantas menetapkan Raden Rangga Prawiradirja III sebagai pejuang perintis perlawanan terhadap Belanda.
Sumber: tirto.id
0 comments:
Post a Comment