Jonru
Tersangka kasus ujaran kebencian di media sosial, Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya. Pengajuan gugatan praperadilan karena penetapan tersangka tanpa melalui gelar perkara, sehingga tidak sesuai dengan prosedur.
Kuasa hukum Jonru tengah berjuang untuk membebaskan kliennya dari jerat hukum. Mereka menyoroti cepatnya penetapan tersangka, serta tidak lengkapnya alat bukti dalam kasus ujaran kebencian.
Salah satu kuasa hukum Jonru, Djudju Purwantoro mengatakan, Jonru diperiksa sebagai saksi pada tanggal 28 September 2017 yang dimulai pukul 16.00 WIB. Pada 29 September 2017 pukul 02.00 WIB dini hari, Jonru ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui gelar perkara khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2013 Pasal 15.
Selain itu pihaknya menilai ada pelanggaran HAM dalam proses penyidikan, penangkapan sampai pada penahanan kliennya. Saat ditetapkan sebagai tersangka, Djudju mengatakan, tak ada surat resminya.
"Pada Jumat, tanggal 22 September 2017 sekitar pukul 02.00 WIB, pemohon dinyatakan sebagai tersangka tanpa penetapan melalui surat. Dan pemeriksaan oleh termohon satu kepada pemohon tetap dilaksanakan secara terus menerus hingga Jumat, tanggal 29 September 2017 pukul 07.00 WIB di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya selama kurang lebih 15 jam," katanya dalam sidang di PN Jaksel, Senin (13/11).
Kuasa hukum Jonru, Djudju Purwantoro di PN Jaksel ©2017 Merdeka.com/Hari Ariyanti
Selain itu penetapan tersangka juga dinilai tanpa alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP. Dalam aturan itu disebut harus ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Setelah ditahan pada 30 September dengan Surat Penahanan Nomor: SP.Han/149/IX/2017/Dit.Reskrimsus, Jonru masih terus diperiksa sehari setelahnya atau pada Sabtu (30/9) yang dinilai dilakukan tanpa pertimbangan rasa kemanusiaan pada pemohon dan hak asasinya. Akibat panjangnya waktu dan proses penyidikan yang dilakukan, kliennya kata Djudju jatuh sakit.
Djudju menambahkan, seharusnya sebelum penetapan tersangka, penyidik melibatkan tim ahli digital forensik untuk menelaah isi unggahan Jonru. Namun hal itu tak dilakukan dalam kasus ITE yang menjerat kliennya sehingga dinilai penetapan tersangka tidak sah.
"Penetapan tersangkanya itu kurang dari 10 jam. Kami menduga bahwa penetapan tersangkanya itu tidak melalui proses karena yang disangkakan adalah UU ITE Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 itu yang seharusnya dilakukan melalui proses gelar perkara," tegasnya.
"Gelar perkara yang juga kami menduga tidak dilakukan sesuai ketentuan karena seharusnya melalui prosedur atau mekanisme pemeriksaan ahli digital forensik. Kami yakin itu tak dilakukan," lanjutnya.
Anggota tim kuasa hukum lainnya, Irfan Iskandar menyampaikan penyitaan laptop milik Jonru dilakukan setelah penetapan tersangka. Hal ini menurutnya terbalik menurut hukum.
"Karena barang bukti dalam perbuatan ITE itu adanya di komputer. Bagaimana bisa tersangkanya dulu baru disita. Seharusnya disita dulu, dianalisa dulu, dilakukan digital forensik dulu. Jika ditemukan bukti baru ditetapkan tersangka," jelasnya.
Kuasa hukum Jonru, Djudju Purwantoro di PN Jaksel ©2017 Merdeka.com/Hari Ariyanti
Jonru juga dijerat dengan sangkaan diskriminasi ras dan etnis. Menurut Irfan diskriminasi ras dan etnis adalah perbuatan fisik yang tak ada kaitannya dengan UU ITE. Sedangkan Jonru hanya mengunggah tulisan di akun Facebooknya. "Jadi enggak ada sangkut pautnya dengan UU diskriminasi tapi itu dijadikan salah satu dasar surat penangkapan dan penahanan," terangnya.
Untuk diketahui, Jonru dilaporkan Muannas Al Aidid pada akhir Agustus lalu karena sebuah unggahan di laman Facebooknya. Ia diduga menyebarkan ujaran kebencian melalui unggahannya dan dijerat dengan UU ITE. Unggahan Jonru yang dipersoalkan dalam laporan itu salah satunya menyinggung soal Syiah dan salah satu etnis.
Sumber: merdeka.com
0 comments:
Post a Comment