Mbah Jumiyo warga Tegal Urung, Gilangharjo, Pandak Bantul
Meski sudah berusia 90 tahun, Jumiyo masih tampak bersemangat mengayuh sepeda tuanya yang sudah tampak berkarat dibeberapa bagian untuk menjajakan es buatannya.
Di bagian belakang sepedanya, terdapat sebuah keranjang kotak berwarna biru bertuliskan 'ES JADUL'.
Setiap harinya, Jumiyo menempuh 20-an kilometer untuk berjualan di sekitar Alun-alun Kidul (Alkid) Yogyakarta.
Berangkat dari rumahnya di Tegal Urung, Gilangharjo, Pandak Bantul, Jumiyo sehabis Asar baru berangkat menuju Alkid untuk menjual es jadul buatannya.
"Saya berjualan es sejak tahun 70an," ujar Jumiyo sembari tersenyum saat menyempatkan berbincang dengan tribunjogja.com, Rabu (1/11/2017).
Jumiyo saat itu tengah melintas di Jalan Bantul, tepatnya di sebelah utara gapura menuju ke sentra gerabah Kasongan.
Dibagian belakang ada enam termos untuk membawa es jadul, satu termosnya berisi 30 es yang ia buat sendiri.
Es jadul ini terdiri dalam beraneka ragam rasa. Es ini ditusuk menggunakan sebuah stik dan dibalut menggunakan plastik transparan.
"Ini ada beberapa macam rasa, ada yang harga Rp 2000 ada yang Rp 2500," tambah Jumiyo sembari membuka termos yang tutupnya berlapiskan plastik berwarna hitam.
Jumiyo menceritakan setiap sehabis subuh ia membuat es jadul, mulai dari menyiapkan bahan, mencetak, hingga memasukkan ke dalam kulkas.
"Bahannya air, gula pasir, pati kanji, kelapa, dan beragam perasa makanan," ujar Jumiyo menjelaskan secara detail.
Jumiyo mengaku bersyukur dari hasilnya menjual es dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ketika musim hujan, dagangan esnya terkadang juga tak laku.
"Penghasilan ya Alhamdulillah di syukuri. Ya kalau pas musim hujan ya nggak laku, dimasukkan kulkas lagi. Es ini bisa awet sampai seminggu," ujar bapak tiga anak ini.
Jumiyo yang mengaku sudah tiga tahun ini dirinya selalu menjajakan es dikawasan Alkid, dan ia baru pulang ketika hari sudah malam.
"Ya pulangnya nggak menentu, kadang jam 10 malam kadang juga sampai jam 11 malam," ujar Jumiyo sembari tersenyum kembali.
Meski tiap harinya harus pulang larut dan kembali mengayuh sekira 20 kilometer menuju rumahnya, Jumiyo mengaku tak merasakan lelah.
"Mboten kesel, namung 20an kilo kok, (tak capek, cuma 20an kilo-red)" ujar kakak 90 tahun ini sembari menuntun sepedanya dan kembali mengayuh menuju Alkid.
Sumber : KisahInspirasi
0 comments:
Post a Comment