Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Tuesday 26 September 2017

Komplek Pemakaman Etnis Thionghoa.

Diperkirakan Berusia 5 Abad di Hulu Sungai Silau-Asahan

Lembaga Pelestarian Situs dan Cagar Budaya Asahan, pada tahun 2013 lalu menemukan situs sejarah penting berupa komplek pemakaman di Kabupaten Asahan, berupa komplek pemakaman etnis Thionghoa, diperkirakan berusia 5 Abad di Hulu Sungai Silau, Desa Bandar Pasir Mandoge.

Sejarawan Zasnis Sulungs (alm) menuturkan, sesuai rentetan penelitian yang dilakukan pihaknya, etnis Tionghoa di Nusantara ini dimakamkan di tempat itu, diduga dibawa Bangsa Portugis dari Malaka sejak tahun 1516 M, yang awalnya bertujuan untuk membantu kelancaran misi perdagangan.

Sumber referensi ilmiah yang ada, memperlihatkan Portugis telah bersentuhan dengan komunitas Jawa Hindu, Batak dan Melayu, untuk melakukan perdagangan sistem barter, terhadap barang-barang hasil bumi lokal di Kampung Perbandaran yang sengaja dibangun Portugis dibagian hulu Sei Silau. Kemudian, nama Perbandaran itu menjadi cikal bakal nama Desa Bandar Pasir Mandoge.

Lokasi penemuan situs itu, bisa ditempuh dengan jalan kaki sejauh 1,5 kilomeyer, melalui jalan setapak dari belakang Pabrik Kelapa Sawit (PKS) AIP di perbatasan Dusun VI, Desa Bandar Pasir Mandoge dengan Dusun I, Desa Sukamakmur.

Jalan itu merupakan jalan darurat, berbatu padas yang cukup terjal, dan sulit dilalui kendaraan bermotor. Sedangkan jalan alternatif lainnya, dapat dilakukan dengan menempuh jalur Sei Silau dari Desa Sionggang, menggunakann sampan atau perahu karet bermesin.

Ketika ditemukan oleh ekspedisi Budaya Asahan, kondisi komplek pemakaman sangat memprihatinkan. Karena sudah rata dengan tanah dan tidak memiliki tanda-tanda gundukan sebagai sebuah pemakaman yang layak.

Walau pun demikian, masih ada yang menggembirakan. Karena di tempat itu masih bisa ditemukan beberapa buah batu nisan bertulisan “kanji” Mandarin yang berukuran 40 cm X 80 cm, berwarna coklat dan putih, dengan tulisan Mandarin terukir rapi.

Melihat bentuk batu nisannya yang kokoh, maka kuat dugaan batu nisan itu bukan dibuat di daerah ini, namun sengaja dibawa dari Malaka (Malaysia). Sekalipun sudah mulai agak kabur, tapi satu di antaranya masih bisa dibaca dan diterjemahkan oleh seorang Suhu Pekong di Kisaran.

Menurut suhu yang enggan namanya dikorankan ini, dari tulisan diketahui, nisan itu adalah milik gadis bernama Huang Siu Cu, cicit dari Pai Se Cuang. Gadis itu, dinyatakan meninggal tanggal 20-5-1548 M. Tapi mengenai tahun kematian itu, masih memerlukan penelitian.

Sebab, tulisannya agak kabur dan akan diusahakan menyingkapnya secara batiniah. Sedangkan batu nisan lainnnya, juga sedang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh para pakar etnis Tionghoa Kisaran.

Beberapa catatan sejarah menyebutkan, setelah Portugis berhasil meruntuhkan kerajaan Melayu Malaka tahun 1511 M, maka pihak agresor telah mengembangkan sayap misi dagangnya secara menggurita sampai ke wilayah pantai Timur Sumatera Utara, yang ketika itu di bawah pengaruh Aceh.

Salah satu daerah yang dipilih Portugis untuk menjalankan misi dagang, adalah dibagian hulu Sei Silau. Di sana Portugis telah membangun sebuah Kemp dan Bandar Pelabuhan dengan nama Perbandaran yang ketika itu terbilang sangat ramai dikunjungi komunitas setempat dan juga yang sengaja datang dari Simalungun dan Toba.

Parbandaran ini, telah menjadi sentra ekonomi utama, yang menampung hasil bumi berupa rempah-rempah, kayu ulim, gading gajah, ternak, getah rambung merah, kulit hewan, dan bahkan budak belian.

Secara tetap, pihak Portugis telah membawa kapal-kapal kargo, bersama barang-barang impor berupa tekstil, sutera, bdelacu, barang pecah belah, segala jenis senjata tajam, cermin, candu dan lain-lainnya mudik ke kampung Perbandaran tersebut.

Kemudian barang-barang impor itu telah disebarkan ke dalam bangunan rumah toko terbuat dari papan yang sengaja dibangun di pinggir Sei Silau. Nah, pada toko-toko milik Portugis itulah orang-orang Tionghoa ditempatkan untuk menjajakan barang-barang dagangan impor.

Sedangkan kelompok Tionghoa lain, ada yang menjadi kuli di pelabuhan, membuka toko sepatu, tukang jahit pakaian dan kerani. Kegiatan usaha yang dilakukan saat itu, dengan menggunakan sistem barter.

Di mana barang-barang komiditas ekspor lokal, berupa rempah-rempah, padi, kayu ulim, ternak, kulit ternak, getah rambung merah, madu, gading gajah, bahkan “budak belian” telah ditukarkan dengan barang-barang impor dengan sistem barter tadi.

Sedangkan uang resmi yang dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah, ialah Ringgit Spanyol. Menurut Zasnis, Portugis melakukan misi dagangnya di bagian hulu Sei Silau Kabupaten Asahan mencapai 125 tahun (1516-1641M).

Kemudian pada tahun 1641 M, kegiatan misi dagang itu tiba-tiba saja berhenti. Ketika itu tentara, penguasaha dan pembantunya yang setia mayoritas dari Tionghoa, diperintahkan segera meninggalkan kampung Perbandaran tersebut dan semuanya menaiki kapal-kapal kargo, untuk selanjutnya melakukan pelayaran ke Goa (India).

Ternyata tahun 1641 M itu, Portugis telah kalah perang dengan Belanda, sehingga mereka terusir dari Malaka. Nah, yang tertingal di kampung Perbandaran itu, hanyalah sejumlah bangunan kosong dan kuburan-kuburan etnis Tionghoa, yang telah meninggal dunia akibat serangan penyakit malaria.

Pekuburan itu, sekaligus berfungsi sebagai saksi bisu tentang keberadaan Portugis di tempat ini di masa lalu. Sayangnya, kata Zasnis, ketika ditemukan kembali, ternyata kondisi komplek pemkaman sungguh memilukan. Kuburan itu tidak memiliki gundukan tanah dan yang tersisa hanyalah beberapa buah batu nisan yang masih utuh.

“Makam-makam etnis Tionghoa merupakan situs cagar budaya yang memperkaya khasanah budaya Kabupaten Asahan. Oleh karena itu, saya telah meminta Bupati Asahan Drs H Taufan Gama Simatupang MAP, untuk memelihara dan melestarikan makam bersejarah itut,” kata Zasnis.

Batu Kanihir
Terungkapnya keberadaan Portugis di bagian hulu Sei Silau Kabupaten Asahan tersebut, berdasarkan tulisan seorang utusan Gubernur Inggris dari Pulau Pinang (Penang), bernama Jhon Anderson, dalam bukunya “Mission To The Eastcoast of Sumatera”, tahun 1823 M.

Dalam catatan harian Jhon Anderson, disebutkan bahwa pada tanggal 26 Pebruari 1823 M, dia bersama rombongan telah datang ke Sirantau (Pante Olang) Tangjungbalai, untuk menemui Sultan Asahan ke-VII, Tuanku Mohammad Husinsyah (1808-1859 M), yang bersemayam di sana.

Ada pun maksud dan tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data mengenai kondisi ekonomi, politik dan budaya di Kesultanan Negeri Asahan. Namun, Jhon Anderson mengatakan dia tidak dapat bertemu dengan Sultan Asahan, karena baginda sedang berada di hulu Sei Silau, untuk memerangi kelompok orang Batak yang berpihak kepada Raja Ishak.

Ketika itu, telah terjadi perebutan kekuasaan di Kesultanan Asahan, antara Sultan Muhammad Husinsyah dengan Raja Ishak, yang menimbulkan peperangan sengit di bagian hulu Sei Asahan dan Sei Silau.

Saat itu daerah Asahan telah dibagi dua, di mana dari Tanjungbalai sampai ke Bandar Pulau diperintah oleh Raja Ishak. Sedang dari Sirantau ke Bandar Pasir Mandoge di perintah oleh Sultan Muhammad Husinsyah.

Namun orang-orang Batak di Bandar Pasir Mandoge banyak yang menyeberang ke pihak Raja Ishak, sehingga Sultan Muhammad Husinsyah yang dibantu Raja Sitorus Pane, terpaksa memerangi orang-orang Batak tersebut.

Pada tanggal 5 Maret 1823, Jhon Anderson telah sampai ke kampung Bandar Pasir Mandoge yang ketika itu bangunan-bangunan rumah dikampung ini terlihat agak kumuh. Orang Ingris ini telah disambut oleh Raja Daurung Sitorus Pane, yang merupakan mertua Sultan Asahan.

Dalam catatannya, Jhon Anderson mengatakan dalam perjalanan mudik kehulu Sei. Silau tersebut ia telah melewati 2 buah batu yang ganjil setinggi 200 meter didua sisi sungai tersebut. Selanjutnya menemukan dua buah batu besar yang disebut batu “Kanihir” (Dikikir), yang seakan-akan bagaikan terowongan yang ingin menghambat aliran Sei Silau tersebut.

Dikatakan, dahulu kala kedua batu besar itu hampir menutup aliran Sei Silau, tapi ketika Portugis datang melakukan misi dagang ke tempat ini, batu itu telah dikikir sampai selebar 20 meter, sehingga kapal-kapal kargo Portugis bisa sampai ke kampung Perbandaran.

Batu-batu yang ditemukan oleh Jhon Anderson tersebut, hingga sekarang masih bisa ditemukan dibagian hulu Sei Silau tersebut, sebagai monumen alami tentang keberandaan Portugis di tempat ini di masa lalu.

0 comments:

Post a Comment