Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Tuesday 26 September 2017

Menguak Situs Sejarah Sekh Silo Laut


Nama lengkapnya Syekh Haji Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara.Berdasarkan buku catatannya,ia di lahirkan di kampung Rao Batubara (sekarang desa Tanjung Mulia kecamatan Tanjung tiram Batubara) pada tahun 1275 H setara dengan 1858 M.

Ayahnya bernama Nakhoda Alang bin Nakhoda Ismail,keturunan dari Tuk Angku Mudik Tampang keturunan dari Tuk Angku Batuah yang berasal dari daerah Rao (perbatasan Tapanuli selatan dengan Sumatra barat).Gelar ''nakhoda " di awal nama ayahnya tersebut di sebabkan Nakhoda Alang bekerja sebagai Nakhoda pada sebuah kapal tongkang miliknya sendir yang di gunakan untuk membawa barang-barang dagangan antar pulau bahkan Malaya(malaysia).Ibunya bernama Naerat berasal dari kampung rantau panjang (kecamatan pantai labu Deli Serdang). Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara,yaitu: Abas,Siti Jenab,Abdurrahan,Abdurrahim.

Abdurrahman sejak kecilnya di kenal mempunyai sifat pemberani,berkemauan keras,pendiam,cerdas dan tekun.Ketika ia berumur 6tahun,orang tuanya memasukkan belajar mengaji pada salah seorang guru di kampung Lalang Batu bara,pada saat itu pribadinya sudah mulai nampak sebagai ciri-ciri anak yang sholeh,sebab selain belajar agama dan mengaji,ia sering pula mengasingkan diri dari orang tuanya untuk berkhalwat dengan berzikir mengingat Allah Yang Maha Pencipta. Ia suka berkhalwat sejak usia 15 tahun.

Setelah ia mulai menginjak dewasa (sekitar 17 tahun) Abdurrahman ingin menambah ilmunya di bidang agama islam. Dengan memohon izin kepada kedua orang tuanya,ia pergi merantau ke daerah asal keturunannya Minangkabau tepatnya ke daerah Bukit tinggi.Di sana ia berguru kepada seorang ulama yang cukup di kenal ketika itu bernama Syekh Jambek.Di samping ia mempelajari ilmu-ilmu syare'at (fiqh) ia lebih menekuni bidang ilmu hakikat yaitu ilmu tauhid dan tasauf.Ia juga meminati ilmu beladiri (silat) dan untuk bidang ini ia belajar kepada salah seorang ahli ilmu beladiri yang cukup di kenal di tanah Minangkabau bernama Tuk Angku Di Lintau.Dalam usahanya untuk membekali dirinya dengan ilmu yang bermanfaat,pemuda Abdurrahman dalam riwayatnya pernah pula belajar ke daerah Aceh,namun belum di ketahui daerah dan gurunya tempat ia belajar.

Pemuda Abdurrahman merasa masih kurang puas dengan ilmu yang di milikinya.Tidak lama setelah ia pulang dari Minangkabau dan Aceh,salah seorang pakciknya yang bergelar Panglima Putih membawanya merantau ke negeri Fathany (Thailand) atas izin dan restu kedua oarang tuanya untuk menambah ilmunya di bidang agama islam.

Di dalam pelayarannya,ia menunjukkan kemahirannya dalam ilmu silat kepada penumpang-penumpang kapal tersebut yang tampa di ketahuinya di antara mereka ada rombongan sultan Kedah yang akan pulang ke negrinya.

Di negri Fathany pemuda Abdurrahman belajar kepada salah seorang ulama yang cukup di kenal beliau bernama Syekh Wan Mustafa dan anaknya yang bernama Syekh Daud Fathany.Selama berada di sana Abdurrahman lebih banyak belajar ilmu tauhid,ilmu tasauf dan ilmu hikmah/ketabiban.Di samping belajar,ia di tugaskan gurunya pula untuk mengajar.

Sewaktu masih berada di Fathany,ia di datangi utusan dari Kedah dengan maksud mengundangnya datang ke negeri Kedah,sebab sultan Kedah ingin melihat kemahirannya dalam ilmu silat dihadapan Hulubalang,prajurit dan rakyat negeri Kedah.Pemuda Abdurrahman memenuhi undangan tersebut dengan terlebih dahulu memohon izin dan restu dari gurunya.Sesampainya di negeri Kedah,sesudah beberapa hari lamanya di adakanlah acara perang tanding untuk memilih kepala hulu balang kesultanan Kedah.Pemuda Abdurrahman yang sengaja di undang untuk perang tanding tersebut,berhadapan dengan Panglima Elang Panas (gelarnya) yang berasal dari Siam.Dengan kuasa dan izin Allah,pemuda Abdurrahman menang dalam perang tanding tersebut.Lalu sultan Kedah menawarkannya untuk menjadi kepala hulubalang kesultanan kedah.Abdurrahman menerima tawaran itu,kemudian ia di nobatkan dan menjabat selama 7 tahun berturut-turut.Menurut riwayat beliau menerima gaji 60 ringgit setiap bulannya.Dalam perantauannya di Fathany dan Kedah,beliau sempat pula belajar di Kelantan.

Pemuda Abdurrahman menyadari bahwa cita-citanya semula adalah untuk menjadi seorang ulama yang akan mengembangkan agama islam dan mengabdikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat negrinya.Maka dari itu,ia meletakkan jabatannya sebagai kepala hulubalang kesultanan kedah lalu ia pulang kembali ke negeri asalnya Batubara di jemput oleh abangnya yang bernama Abbas.

Setelah berada kembali di Batubara,ia mulai mengamalkan ilmunya untuk melakukan dakwah islam dengan mengisi kelompok pengajian yang ada di Batubara dan di daerah Serdang (sekarang Deli Serdang) dan beliau di kenal masyarakat dengan panggilan Lebai Deraman.Ketika ia melakukan dakwah di daerah serdang itu,ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis serdang bernama Maimunah.Sewaktu berada di serdang beliau mengatas namakan alamatnya melalui kemenakannya yang bernama mufti Ahmad Serdang dan waktu senggangnya di isinya dengan melakukan "khalwat" di seberang sungai serdang (sekarang sungai ular).

Pada masa Lebai Abdurrahman melaksanakan dakwah dan pengajian di Batubara dan Serdang,muridnya yang sebagian besar nelayan melaporkan bahwa mereka sering di ganggu oleh bajak laut yang bermukim di pulau jemur sehinga mereka tidak aman mencari nafkah di selat Melaka.Mendengar laporan muridnya,Lebai Abdurrahman dengan seorang kaum kerabatnya bernama H.M.Zein dari pantai cermin bermaksud membasmi perbuatan zalim yang di lakukan para bajak laut tersebut.

Sosok yang menentukan tapak Istana Niat Lima Laras memutuskan bermukim di kawasan yang sekarang bernama Desa Silo Lama, berada di Kecamatan Silo Laut dan masuk wilayah Kabupaten Asahan. Dialah H. Abdurrahman Silo. Ponakan dari Panglima Putih itu berasal dari Rao Batubara, saat ini bernama Desa Tanjung Mulia, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara.

“Tahun 1916 beliau mendirikan rumah ini. Tukangnya berasal dari Tiongkok. Sama dengan yang membangun Istana Niat Lima Laras,”ungkap Ibrahim Ali Silo, 54, salah seorang cucu almarhum Tuan Sekh H.Abdurrahman Silo saat penulis berkunjung baru-baru ini.

Sebelumnya, Tuan Sekh H.Abdurrahman Silo berguru kepada H. Abdullah Pathoni di Patani-Thailand. Sejak kecil beliau dibimbing uwaknya, Panglima Putih. Bahkan, H. Abdurrahman Silo sempat menjadi guru besar di Mekkah.

Pengembangan wilayah dan syi’ar agama Islam dalam membangun peradaban dan kebudayaan di kawasan Silo Lama pun berlangsung sejak tahun 1916. Sebab itu pintu gerbang Kuala Silau dan Tambun Tulang menjadi kesohor.

Pergerakan melawan penjajah Belanda seiring oleh kemajuan Tauhid, membuat istana Tuan Sekh Silo Laut tak henti didatangi para murid dan pejuang. Oleh pertahanan yang berlapis dan lokasinya susah dijangkau, istana Sekh Silo Laut tak terjamah penjajah Belanda.

Dalam kesibukan membangun ummat dan kawasan, Sekh H. Abdurrahman Silo masih sempat melawat ke tanah suci Mekkah. Pejuang melawan penjajah dibekalinya iman dan ilmu perang yang membuat Belanda susah mengatasinya.

Di zaman kemerdekaan pun Tuan Sekh Silo Laut berperan sebagai panutan dan pemimpin spritual, sampai akhirnya digantikan salah seorang putranya, Tuan Sekh Silo Laut II, almarhum H. Muhammad Ali Silo tahun 1976.

Bukan itu saja, para pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti tentara yang akan pergi Operasi Militer Timor Timur juga “sowan” ke Tuan Sekh Silo Laut.

Makam Sekh Silo Laut pertama dan kedua, berlokasi persis berada dekat mesjid di samping istana. Namun kondisi istana saat ini sangat memprihatinkan, agaknya pemerintah mengabaikan keberadaan salah satu situs sejarah ini.

Sangat disesalkan, istana Tuan Sekh Silo Laut yang sederhana belum tersentuh bantuan atau perawatan instansi yang berwenang dalam peninggalan sejarah, purbakala, dan pariwisata. Berbeda dengan keberadaan istana Niat Lima Laras yang sudah beberapa kali dipugar.

“Beberapa waktu lalu ada aparat Dinas Pariwisata dating dan meminta kesediaan ahliwaris untuk pemugaran kediaman leluhur kami Tuan Sekh Silo Laut. Tapi sampai sekarang tidak jelas realisasinya,” ujar Ibrahim.

Itulah nasib istana Tuan Sekh Silo Laut, bagaikan terabaikan, apalagi sekitar sepuluh kilometer menjelang istana ini ruas jalan rusak parah. Meskipun istana dan makam Sekh Silo Laut sebagai salah satu situs bersejarah di Kabupaten Asahan masih terabaikan, namun hingga saat ini banyak pengunjung datang, baik bertamu maupun berziarah.

0 comments:

Post a Comment