"Pola hidup hedonis terus menjangkiti dan bahkan telah menjadi budaya di tengah anak bangsa. Hedonisme yang menjadikan kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama kehidupan itu, mengancam lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan, terutama kepekaan sosial dan semangat kegotongroyongan".
“Dapat dilihat dalam keseharian, bagaimana interaksi sosial hanya memperhitungkan untung rugi. Ketika seseorang membutuhkan uluran tangan, banyak yang enggan menolong jika tidak mendapat untung dari hal tersebut. Secara perlahan dan pasti, kita sudah mengarah menjadi masyarakat yang sangat tidak peduli,” tutur Ketua Umum Pembela Kesatuan Tanah Air – Indonesia Bersatu ( Pekat – IB ) H. Markoni Koto, SH melalui telepon selulernya.
Infiltrasi budaya liberal yang membawa konsep bahwa, kehidupan adalah perkara mencari kesenangan individual semata, lanjut Markoni, telah menggerus kepribadiaan anak bangsa untuk berlomba-lomba mengaktualisasikan diri menjadi apa yang diinginkannya. Mereka tidak peduli meski pencapaian tersebut harus ditempuh dengan kebebasan yang kebablasan dan brutal. Menghalalkan berbagai cara.
Propaganda infiltrasi kebudayaan ini, terus mencengkram norma-norma kesusilaan dan mengakar dalam jiwa-jiwa pemuja hedonisme. Naasnya, hal itu terjadi di sebagian besar kalangan remaja. Pola hidup konsumtif yang jauh dari kata sederhana, menjadi trend.
Pemborosan, gaya hidup mewah dan barang-barang bermerk luar negeri seakan menjadi ukuran kebahagiaan. Maka terbangunlah cara berfikir bagaimana memiliki harta banyak lalu hidup jadi senang dan bahagia. Tidak peduli dengan tujuan-tujuan mulia. Yang penting puas, yang penting senang. Tidak ambil pusing dengan yang lain.
“Pola hidup hedonis semakin menjauhkan kita dari kehidupan jalbu al khoir, yakni umur yang barokah, yang dipenuhi banyak kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Hargailah setiap detik dalam kehidupan dengan perkara-perkara yang tidak bisa dibeli dengan uang. Hubungan kasih antar keluarga, cinta akan suami-istri, persahabatan antar-teman, penghormatan dan penghargaan serta tolong-menolong sesama anak bangsa, adalah nilai-nilai luhur kemanusiaan,” tekan Markoni.
“Kita berjalan di jalan kehidupan. Suatu saat, jalannya waktu akan sampai tujuan. Bagaikan panggung pentas, tirai panggung akan tertutup, pentas telah berakhir. Apa yang tersisa dari kehidupan? Tidak ada, selain amal dan perbuatan yang nantinya dipertanggungjawabkan,” sebut Markoni.
Apa yang menimpa seorang miliarder dunia, Steve Jobs (pencipta iPhone) pantas menjadi renungan bagaimana kehidupan mengajarkan arti penting relasi kemanusian yang ditopang oleh kebaikan-kebaikan. Steve Jobs (24 Februari 1955 – 5 Oktober 2011) merupakan seorang visioner, perintis dan jenius dalam bidang bisnis, inovasi, dan desain produk, dan orang yang berhasil mengubah wajah dunia modern serta merevolusi enam industri yang berbeda.
“Di saat-saat akhir hidupnya, hadir sebuah kesadaran bagi Steve Jobs bahwa Tuhan memberi manusia organ-organ perasa, agar bisa merasakan cinta kasih yang terpendam dalam hati terdalam. Kegembiraan bukan datang dari kehidupan mewah. Itu hanya ilusi belaka. Dirinya telah mengerti jika seseorang asal memiliki harta secukupnya untuk digunakan dirinya saja, itu sudah cukup. Mengejar kekayaan tanpa batas itu bagaikan monster yang mengerikan,” ungkap Markoni.
Steve Jobs dalam sebuah catatan mengungkapkan, di dunia bisnis, aku adalah simbol dari kesuksesan. Seakan-akan harta dan diriku tidak terpisahkan, karena selain kerja, hobiku tak banyak. Saat ini aku berbaring di rumah sakit, merenungi jalan kehidupanku, kekayaan, nama, dan kedudukan, semuanya itu tidak ada artinya lagi. Malam yang hening, cahaya dan suara mesin di sekitar ranjangku, bagaikan nafasnya maut kematian yang mendekat pada diriku.
Harta kekayaan yang aku peroleh saat aku hidup, tak mungkin bisa aku bawa pergi. Yang aku bisa bawa adalah kasih yang murni yang selama ini terpendam dalam hatiku. Hanya cinta kasih itulah yang bisa memberiku kekuatan dan terang.
Ranjang apa yang termahal di dunia ini? Ranjang orang sakit. Orang lain bisa bukakan mobil untukmu, orang lain bisa kerja untukmu, tapi tidak ada orang bisa menggantikan sakitmu. Barang hilang bisa didapat kembali, tapi nyawa hilang tak bisa kembali lagi. Saat kamu masuk ke ruang operasi, kamu baru sadar bahwa kesehatan itu betapa berharganya.
“Seorang miliarder yang jenius akhirnya menyadari kehidupan tidak perkara mengejar dan menumpuk kekayaan. Melainkan bermanfaat dalam relasi-relasi sosial yang saling menyayangi, menghormati dan menghargai. Untuk itu, apalagi yang kita tunggu. Segeralah bertaubat. Sebab, maut tidak menunggu taubat kita,” himbau Markoni.
0 comments:
Post a Comment