Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Sunday, 22 October 2017

DPD Pekat IB Asahan Gelar Kegiatan Seminar Untuk Kepala Desa Se Kabupaten Asahan


Kegiatan di beri nama “Seminar Sehari Sinergisitas Antara Pemerintah Desa Dengan Insan Pers dan Penggiat Anti Korupsi Dalam Pengawasan Penggunaan Dana Desa” yang bertajuk: “Membangun Sinergisitas antara Pemerintah Desa dengan Wartawan dan Pegiat LSM dalam Pengawasan Dana Desa” yang akan dilaksananakan pada tanggal 24 Oktober 2017 di Aula Sabty Garden Hotel Jalan Diponegoro Kisaran.

Tri Purnowidodo, SH selaku Penasehat DPD Pekat Indonesia Bersatu Kabupaten Asahan mengatakan bahwa tujuan dibuatnya kegiatan ini ialah berbagai dinamika dan problematika seputar hubungan antara kepala desa dengan awak media dan pegiat LSM dalam pengawasan dana desa merupakan realita sosial yang tidak dapat dinafikan begitu saja. Pembiaran atasnya dikhawatirkan hanya akan menghasilkan sikap apatis dan skeptis pengambil kebijakan mau pun stakeholder.

Di satu sisi alam pikir kepala desa selaku pengambil kebijakan akan mengamini pameo bahwa pengawasan yang dilakukan media massa dan LSM tidak berorientas pada kemaslahatan masyarakat desa namun hanya sekedar mencari-cari kesalahan aparatur pemerintahan desa. Sedangkan di sisi lain alam pikir awak media massa dan pegiat LSM selaku stakeholder akan terasosiasi pada indeks perilaku koruptif yang masih tinggi di negeri ini sehingga alam bawah sadar mereka kerap beranggapan bahwa semua aparatur pemerintahan desa sudah pasti korup dalam pengelolaan dana desa. 

Seminar sebagai salah satu forum ilmiah diharapkan mampu memotret dan menganalisis berbagai dinamika dan problematika tersebut dalam kaca mata yang objektif. Pendekatan keilmuan dari narasumber yang dihadirkan dalam kegiatan seminar ini diharapkan mampu memberikan gambaran utuh mengenai pola hubungan antara pemerintah desa dengan media massa dan LSM. Di samping itu melalui pendekatan keilmuan ini akan pula terdeskripsikan secara gamblang mengenai fungsi, peran dan tanggung jawab masing-masing elemen tersebut dalam pengelolaan dana desa. Pendekatan keilmuan tersebut dapat langsung terkonfrimasi kesahihannya mana kala disandingkan dengan pengalaman praktik para narasumber mau pun peserta seminar, sehingga seminar ini dapat mencapai tujuannya, yakni untuk:
  1. Memberikan pemahaman secara komprehensif mengenai pola hubungan pengawasan antara pemerintah desa dengan media massa dan LSM dalam perspektif kenegaraan.
  2. Mengidentifikasi berbagai deviasi atau penyimpangan perilaku dalam pola hubungan antara pemerintah desa dengan media massa dan LSM dalam pengawasan dana desa.
  3. Menumbuh-kembangkan kesadaran atas urgensi dan signifikansi pola hubungan yang sehat antara kepala desa dengan media massa dan LSM dalam pengawasan dana desa.
  4. Merumuskan langkah-langkah arif dan konkrit dalam membangun sinergisitas hubungan antara pemerintah desa dengan media massa dan LSM demi terciptanya pengelolaan dana desa yang transparan dan akuntabel.
Mendeklarasikan komitmen kepala desa untuk mengelola dana desa secara transparan dan akuntabel serta menolak segala bentuk intimidasi dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Muhammad Syihabuddin, SH Ketua DPD Pekat Indonesia Bersatu Kabupaten Asahan mengatakan bahwa latar belakang kegiatan yang bertema "Dana Desa Untuk Rakyat Sejahtera" ini adalah Pasca keberlakuan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) topik bahasan mengenai anggaran dana desa cukup banyak menyedot perhatian publik.

Bisa jadi musababnya karena kelembagaan desa sebagai bagian terkecil dari struktur kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dikokohkan kembali eksistensi, peran dan kontribusinya bagi Indonesia yang sejahtera dan berkemajuan. Musabab lainnya tak tertutup kemungkinan karena keberlakuan UU Desa ini dibarengi dengan kebijakan pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Nilainya pun cukup signifikan-lebih dari satu miliar rupiah untuk satu desa setiap tahunnya. 

Bagi kebanyakan kalangan, memang nilai satu miliar lebih tersebut merupakan angka yang cukup fantastis apalagi jika diperbandingkan dengan nilai dana yang dikelola pemerintah desa selama tiga dasawarsa sebelumnya. Nilai satu miliar lebih tersebut semakin fantastis tatkala disandingkan dengan income perkapita masyarakat rural pedesaan. Namun agaknya penyelenggara pemerintahan desa boleh jadi mempunyai perspektif lain. Nilai satu miliar lebih tersebut dipandang belum cukup ideal untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat pedesaan agar dapat bergerak maju mengejar ketertinggalan di sektor infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Belum lagi belanja aparatur pemerintahan desa pun harus pula disisihkan dari nilai satu miliar lebih tersebut. 

Terlepas dari beda sisi pandang atas signifikan atau tidaknya jumlah nominal tersebut, yang pasti signifikansi dana desa adalah suatu keniscayaan. Eksistensi dana desa menumbuhkan berjuta asa yang bukan saja bisa membuat sumringah namun juga dapat membuat jengah. 

Bagaimana tak sumringah tatkala benak masyarakat rural terimajinasi dengan fisik jalan dan jembatan sederhana namun laik untuk dilalui, irigasi asri namun debit air tercukupi, serta pos pelayanan terpadu dan pendidikan dini untuk anak-anak pedesaan yang sehat dan terdidik sejak usia dini. Belum lagi peluang usaha dan ketersediaan lapangan pekerjaan di badan usaha milik desa. Semakin sumringah mana kala masyarakat rural diberi ruang untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi komunalnya melalui berbagai pelatihan di tingkat desa. 

Namun di sebalik sumringah atas berderet asa yang menggelantung di dana desa tersebut ternyata tertimbun berbagai problematika yang bisa membuat penyelenggara pemerintahan desa, utamanya kepala desa menjadi jengah. Sebagai kepala pemerintahan desa, beban kerja dan tanggung jawab yang menggelayut di pundaknya tidak berbanding linier dengan penghasilan dan fasilitas yang dapat dinikmati dalam jabatannya. Dengan hanya berbekal take home pay tak lebih dari upah buruh minimun regional, sang top leader desa ini harus memanajeri pengelolaan dana miliaran rupiah dengan seabrek bentuk dan saluran pertanggungjawaban. Tidak hanya pertanggungjawaban yuridis formal kepada pemerintah atasan dan masyarakat tempatan tetapi juga pertanggungjawaban sosial yang lebih luas kepada publik yang direpresentasikan oleh pranata media massa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Memang pertanggungjawaban yang terakhir ini tidak termaktub secara eksplisit dalam UU Desa mau pun aturan organiknya. Dimensi pertanggungjawaban ini lahir sebagai konsekuensi logis dari penggunaan dana desa yang sejatinya tak lain adalah dana yang berasal dari uang rakyat ujar Wakil Ketua Bidang OKK DPD Pekat Indonesia Bersatu Kabupaten Asahan Agus Ramanda.

Tidak dapat dipungkiri bahwa UU Desa mau pun berbagai aturan organik yang menjadi turunannnya dibidani kelahirannya di saat negeri ini tengah menikmati era kebebasan infromasi, berserikat dan berkumpul. Era di mana berbagai media massa dan LSM tumbuh dan berkembang bak cendawan di musim penghujan. Sebelum kelahiran UU Desa, issue (pokok bahasan) mengenai keterbukaan infromasi dan transparansi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bukan merupakan sesuatu yang baru didengungkan dan dihembuskan oleh media massa dan LSM. Issue ini pun telah terlembagakan dengan cukup apik. Berbagai regulasi tentangnya telah pun berlaku mengikat di Republik ini. Saat ini keterbukaan informasi dan transparansi merupakan keniscayaan yang menjadi hak publik. Secara demikian melekat kewajiban bagi seluruh aparatur penyelenggara negara mulai tingkatan Presiden hingga tingkatan kepala desa untuk memenuhi hak publik tersebut. 

Dalam perspektif teoritis semestinya hubungan antara kepala desa dengan media massa dan LSM ini dapat berjalan seiring sejalan secara paralel. Namun laju pertumbuhan media massa dan LSM yang saat ini demikian pesat telah melahirkan kompleksitas hubungan yang dapat menimbulkan problematika tersendiri. Di satu sisi kepala desa tidak dapat menghalangi atau pun membatasi jumlah dan intensitas kunjungan awak media dan pegiat LSM untuk memperoleh informasi darinya. Sedangkan di sisi lainnya kepala desa masih memiliki segudang pekerjaan dan kewajiban untuk mengelola berbagai macam urusan pemerintahan dan kemasyarakatan yang juga menjadi tanggung jawab jabatannya. Jika tidak disiasati secara bijak maka suasana dilematis tersebut dapat menimbulkan petaka. Kepala desa dengan awak media dan pegiat LSM akan berada pada situasi hubungan yang-vis a vis-saling berhadap-hadapan. Ironi pun bisa saja terjadi mana kala awak media dan pegiat LSM bersikap fetakompli (fait accompli)-menggunakan kemampuan dan sumber daya yang ada padanya untuk menggalang dan menggiring opini negatif terhadap kepala desa-hanya karena kepala desa tidak mampu meluangkan waktu untuk bertemu dan melayanai kebutuhan infromasi dari awak media dan pegiat LSM. Jika ironi ini terjadi, hasilnya hanya kesia-siaan belaka. Kepala desa dirugikan, publik pun tak diuntungkan. Esensi pengawasan publik demi terwujudnya pengelolaan anggaraan yang transparan dan akuntabel akan bergeser menjadi ajang intimidasi dan penghakiman terhadap kepala desa. 

Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah arif dan konkrit guna merajut sinergisitas antara pemerintah desa dengan awak media dan pegiat LSM dalam pengawasan dana desa. Namun rajutan sinergisitas tersebut harus tetap pada koridor fungsi, tugas dan peran masing-masing yang terlibat di dalamnya. Bukan justeru sebaliknya saling berkelindan dan berkonspirasi menciptakan kegelapan dalam pengelolaan dana desa.

0 comments:

Post a Comment