Warga Rohingya terjebak di Rakhine.
Perempuan bertubuh kurus dan bermata coklat itu hanya bisa diam tak berdaya ketika pasukan tentara menodongkan senjata api ke hadapannya dan juga ratusan perempuan lain yang tengah berbaris di dalam sungai sedalam dada orang dewasa.
Namun, diamnya berubah menjadi ketakutan luar biasa saat salah satu tentara menunjuk dia dan bayi dalam gendongannya dengan gerakan penuh ancaman. Saat itu firasat buruk menyergapnya dan dia pun sadar nasibnya akan berubah drastis setelah itu.
Dia memeluk bayinya seerat mungkin ketika tentara tersebut semakin mendekatinya.
Namun, dalam waktu beberapa detik, perempuan tersebut merasakan wajahnya dipukul tongkat sementara bayi dalam pelukannya dirampas. Seakan hal itu masih belum menyakitkan baginya, tentara tersebut lalu melempar bayinya ke dalam api yang berkobar dan menyeret dia ke rumah yang telah dikosongkan pemiliknya untuk diperkosa secara bergilir.
Dia adalah Rajuma, pengungsi Rohingya yang merasakan secara nyata kekejaman dilakukan oleh tentara Myanmar terhadapnya dan juga jutaan warga muslim lain di Negara Bagian Rakhine.
"Mereka melemparkan bayi saya ke dalam api, melemparnya begitu saja!" aku Rajuma, dikutip dari laman Independent, Kamis (12/10).
"Setelah itu, dua tentara menarik saya ke sebuah rumah, merobek jilbab dan pakaian saya, lalu memperkosa saya. Bukan saya saja, tapi dua kakak perempuan saya diperkosa di tempat sama dan ibu serta adik laki-laki saya yang masih 10 tahun ditembak di depan mata saya," Rajuma tak kuat menahan tangisnya.
Rajuma mengira dirinya telah tewas setelah hilang kesadaran. Ketika terbangun, tentara-tentara itu sudah pergi. Tetapi rumah-rumah di sekelilingnya sudah hangus terbakar.
Dia keluar dan melewati rumah-rumah tersebut lalu bersembunyi di hutan. Ketika malam tiba, dia hanya bisa meringis ketakutan tanpa bisa tidur sampai dia melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Dia menemukan kaus usang di tengah perjalanan dan memakainya sambil terus melanjutkan pelarian.
"Setelah hari penyiksaan itu, saya melarikan diri dalam keadaan telanjang, penuh darah. Sendirian, karena saya telah kehilangan bayi, ibu, dua kakak perempuan, dan adik laki-laki saya. Semuanya dihabisi di depan mata saya sendiri," ceritanya.
Rajuma tiba di Bangladesh beberapa minggu lalu dengan menaiki perahu kecil. Saat tiba di tempat tujuan utama para pengungsi Rohingya itu, banyak yang menyangsikan pengakuannya. Pasalnya, Rajuma tidak bisa membaca atau menulis. Dia bahkan tidak memiliki selembar kertaspun yang bisa membuktikan bahwa dia benar-benar lahir di Myanmar.
Dia mengaku berusia 20 tahun dan dibesarkan di dusun pertanian bernama Tula Toli. Di tanah kelahirannya itu, Rajuma tidak pernah merasakan kedamaian sama sekali.
Berbagai kekerasan brutal kerap dilakukan oleh pasukan pemerintah. Hal itu sudah terjadi sejak lama karena dipicu oleh kebencian etnis yang dibiarkan berlarut-larut.
Puncaknya adalah pada 25 Agustus lalu, ketika Kelompok Militan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) melancarkan serangan mematikan. Hal itu mendorong militer Myanmar meluncurkan "operasi pembersihan" untuk membasmi para pemberontak tersebut.
Namun faktanya, warga Rohingya juga turut menjadi korban pembersihan tersebut hingga tidak memiliki pilihan lain selain melarikan diri.
"Kami bersimpuh di kaki para tentara itu, memohon agar tidak disiksa. Tapi mereka tidak berhenti, mereka justru menendang kami semua, membunuh sebagian dari kami, memenggal, menembak, memperkosa, membuat kami seakan kehilangan akal," aku Rajuma.
Kini Rajuma tengah berusaha memulihkan diri di tengah kamp pengungsian Bangladesh. Trauma yang dialaminya membuatnya seringkali berjalan menyusuri kamp-kamp lain dalam keadaan linglung dan mengingat orang-orang tercintanya yang nyawanya telah terenggut. Namun yang paling tidak bisa dia lupakan adalah bayinya yang berusia 18 bulan bernama Muhammad Sadeque.
"Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana sulit dan sakitnya tidak bisa lagi mendengar suara bayi laki-laki saya," ujar Rajuma menutup ceritanya.
0 comments:
Post a Comment