Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Tuesday, 3 October 2017

Kisah Haru di Akhir Kehidupan Bung Karno



Wisma Yaso, tempat Bung Karno alami penderitaan setelah tak lagi tinggal di Istana Bogor.

Dalam buku 'Hari-hari Terakhir Sukarno' karya Peter Kasenda dan buku 'Kejayaan Dan Saat-saat Terakhir Bung Karno' karya Soewarto mengisahkan kondisi mengenaskan Bung Karno saat tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Saat itu Bung Karno yang tengah sakit parah harus menjalani interogasi Kopkamtib (Komando Pemulihan dan Keamanan). Setelah sakit Bung Karno semakin parah barulah Soeharto memerintahkan penghentian interogasi. Namun, ini tak lantas menandai siksaan Soekarno berakhir.

Siksaan fisik dan psikis justru semakin menjadi-jadi. Para tentara yang ditugaskan mengawal Soekarno sungguh tidak memperlakukannya secara layak. Tak jarang mereka membentak Soekarno dengan kasar karena masalah-masalah sepele.

Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso. Beberapa orang diketahui nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO (Korps Komando) yang dikabarkan sempat menembus penjagaan dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno. Tapi, Bung Karno menolak mengikuti permintaan mereka karena menganggap hal itu akan memancing perang saudara.

Dokter Mahar Mardjono yang ikut merawat Soekarno kala itu memberi kesaksian, obat-obat yang diresepkannya tidak pernah diberikan. Obat-obat tersebut hanya disembunyikan di laci oleh dokter tentara yang bertugas merawat Bung Karno. Di Wisma Yaso ini kamar Bung Karno tampak suram karena tidak terawat. Yang ada hanya sebuah termos dengan gelas kotor. 

Mohammad Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno lantas menulis surat tertuju pada Soeharto, mengecam cara merawat Soekarno. Demi mengingat sahabatnya, Hatta duduk di beranda rumahnya sambil menangis sesenggukan. Kepada istrinya Rachmi, Hatta lantas menyampaikan keinginannnya untuk bertemu dengan Soekarno. 

“Kakak tidak mungkin ke sana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik,” kata Rachmi. Hatta bersikeras meyakinkan istrinya agar bisa menemui Soekarno. Seraya menoleh pada istrinya, Hatta berkata: “Soekarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Soekarno disakiti seperti ini.”

Keinginannya juga disampaikan kepada Soeharto yang sudah meminpin sebagai Presiden RI. Dia menyampaikannya melalui sebuah surat bernada tegas yang langsung disetujui Soeharto.

Di Wisma Yaso Sukarno dijenguk oleh dua sahabat setianya, Bung Hatta dan Ali Sadikin. Meski begitu, Sukarno sangat tersiksa oleh penyakitnya. Diceritakan dalam dua buku itu bila Sukarno sering berteriak-teriak “Ya Allah, sakit. Ya Allah, sakit sekali...!”

Tidak ada yang menolong Sukarno. Tentara pengawal hanya bisa diam, menerima perintah komandan. Sampai-sampai ada seorang tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa membendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.

Hingga pada 16 Juni 1970 sampailah Sukarno pada titik nadir pertahanannya. Bung Karno jatuh koma. Lelaki yang pernah begitu mempesona dan digila-gilai wanita-wanita cantik itu kini tak ubahnya laiknya mayat hidup.

Di rumah sakit, Hatta menemui Sukarno yang tergolek lemah. Tak disangka ini menjadi pertemuan terakhir kedua sahabat itu. Dengan hati-hati Hatta menghampiri sahabat lamanya itu. Sukarno yang semalam koma mendadak tersadar oleh kehadiran Hatta. 

“Bagaimana keadaanmu, No?" kata Hatta sembari berusaha menyembunyikan hatinya yang hancur melihat kondisi sahabatnya itu.

“Hou gaat het met jou..?” (Bagaimana keadaanmu?). Sukarno balik bertanya, mengingatkan saat-saat perjuangan mereka. Sambil memaksakan diri untuk tersenyum, Hatta meraih tangan Sukarno. Perlahan Hatta mulai memijit Sukarno dengan lembut. Nyaman dengan sahabatnya, Sukarno meminta Hatta untuk memasangkan kaca matanya agar bisa melihat sahabatnya dengan lebih jelas.

Sukarno yang dulu gagah dan mempesona itu pun menangis sesenggukan di hadapan sahabat lamanya. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bak bayi kehilangan mainan.

Hatta yang berperangai dingin dan tak terbiasa menunjukkan perasaannya, kali ini tak kuat membendung bulir air matanya. Tak mampu lagi dia mengendalikan perasaannya dan ikut menangis, merasakan penderitaan sahabatnya. 

Saat itu tak ada lagi perbedaan politik di antara keduanya. Ini adalah pertemuan dua anak manusia yang berhasil melahirkan bangsa ini. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu diceritakan saling berpegangan tangan, seolah takut berpisah.

Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang dikaguminya tidak akan lama. Hatta juga tahu, betapa siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya sungguh sangat kejam. Suatu hal yang hanya bisa dilakukan oleh manusia tanpa nurani.

“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari ucapan Hatta. Tak mampu berucap lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kecewa. Bahunya terguncang.

Sejenak, mereka kembali mengenang masa-masa muda penuh perjuangan dan pencapaian. Sehari setelah pertemuan dengan Bung Hatta kondisi Sukarno menjadi semakin buruk. Matanya sudah tak lagi mampu terbuka. Suhu badannya terus meninggi. Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Sukarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Sukarno belum pernah sekali pun melihat anaknya itu.

Minggu pagi 21 Juni 1970, dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan melakukan pemeriksaan rutin. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Sukarno.

Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Sukarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. dr. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah itu. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Begitu hening dan mencekam. Sukarno menghembuskan nafasnya yang terakhir.

0 comments:

Post a Comment