Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Friday 6 October 2017

Kisah Anggota Cakrabirawa Diperintah Jemput Jendral Nasution


Perintah itu datang tiba-tiba dalam satu agenda apel mendadak di Istana Merdeka Jakarta, saat jam menunjukkan pukul 17.00 WIB di Kamis, 30 September 1965. Salah satu perintah disampaikan kepada Sulemi yang kala itu tergabung dalam Batalyon 1 Kawal Kehormatan (KK) Cakrabirawa di bawah kepemimpinan Letkol Untung Samsuri.

"Ada perintah dari komandan batalyon, dari Pak Untung, kalau seluruh kompi konsinyir (waspada) berat. Sehingga, pukul 17.00 diadakan apel siaga dengan penjelasan nanti pada 5 Oktober (1965) ada dewan jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno," kata Sulemi.

Mendengar kabar itu, pria kelahiran Purwokerto, 6 Januari 1940 ini membayangkan rawannya keselamatan sang pemimpin besar revolusi yang dikagumi dan sekaligus dijaganya. Tanpa ragu, dia kembali mengingat salah satu tugas utama pasukan pengawal presiden.

"Sekarang logikanya, seorang prajurit mendengar itu (kabar akan ada kudeta terhadap presiden), dengan doktrin pasukan Cakrabirawa, menjaga keselamatan presiden, beserta keluarganya itu sudah mantap. Ini bagaimana kalau presiden ada apa-apanya? Kalau Bung Karno ada apa-apanya? Itu antara lain jiwa dari pasukan Cakrabirawa," ujarnya.

Perintah untuk menjemput beberapa jenderal dituduh termasuk dalam dewan jenderal pun disampaikan. Tugas ini pula yang akhirnya diemban Sulemi pada keesokan harinya di pagi buta.

"Para pasukan ini, diperintahkan pada esok pagi agar menjemput jenderal itu agar menghadap kepada pimpinan besar revolusi. Jam penjemputannya ditentukan jam 03.00 pagi. Sekaligus, beberapa anggota dibagi sesuai dengan regu-regunya. (Regu) ini (jemput) Nasution, ini (Ahmad) Yani, ini Suprapto, ini Panjaitan dan sebagainya," jelasnya.

Sulemi mengungkapkan, masing-masing pasukan diisi 10 anggota Cakrabirawa. Sedangkan sisanya ditambah dari Brigif I Kodam V Jaya, yang merupakan anak buah Kolonel Latif. Dia mengingat, total pasukan dalam satu rombongan berjumlah 36 personel.


Pada malam hari, pasukan yang telah dibuat dalam tujuh regu tersebut diberangkatkan ke Lubang Buaya. Sulemi sendiri mengaku tak bisa memejamkan mata untuk mengemban tugas menjemput Jenderal Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar. "Saya tidak tidur, karena menunggu perintah sampai jam 03.00 pagi," ucapnya.

Ketika waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB, regu yang diikutinya pun menuju sasaran yang dituju. Demikian juga dengan regu lain yang menuju target penjemputan. "Kalau tidak salah, membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk sampai sasaran. Namun, pasukan kami sempat nyasar ke tempatnya Pak Leimena (Wakil Perdana Menteri), karena penunjuknya, Pak Idris, waktu itu juga salah," ucapnya.

Diakui Sulemi, pasukan menyadari tujuan yang salah saat melihat tidak adanya pos militer di rumah Leimena. Padahal, jelas Sulemi, penjagaan hanya ada di rumah Menteri Panglima Angkatan Darat. "Di situ, ada pos penjagaan sebanyak satu regu yang berjumlah 10 orang," ucapnya.

Ketika memasuki rumah Nasution, tidak terjadi perlawanan dari penjagaan. Lantaran, jelas Sulemi, pasukannya menggunakan strategi. Saat itu pasukan penjemput Jenderal Nasution dipimpin Pembantu Letnan Djahurup. "Ketika sampai di sana, kami bilang kepada penjaga agar diam. Kemudian, ada anggota yang mengambil senjata," ucapnya.

Setelah itu, penjaga digiring masuk ke dalam ruangan yang kemudian dikunci dari luar. Menurut Sulemi, pada awalnya pasukan sudah menyampaikan ingin menjemput untuk menghadap ke istana. "Tetapi, mereka (pasukan penjaga) ngotot dan sempat adu mulut. Namun akhirnya mengalah," ucapnya.

Sementara itu, Sulemi bersama dua teman lainnya, Haryono dan Suparjo beranjak masuk melalui pintu utama rumah yang tidak terkunci. Kemudian, mereka bergegas masuk mencari Jenderal Nasution. "Saat sampai di depan pintu kamarnya, kami mengetuk pintu untuk memohon izin bertemu. Pintu sempat terbuka dan kemudian ditutup lagi dan dikunci. Mungkin tahu, kalau yang datang adalah pasukan Cakrabirawa," ucapnya.

Diakui Sulemi, saat itu butuh satu keputusan untuk mengemban tugas yang diamanahkan kepada pasukan penjemput untuk membawa Jenderal Nasution menghadap ke Bung Karno. Pintu sempat didobrak namun tidak terbuka. "Akhirnya, gagang pintu yang terkunci ditembak hingga terbuka. Yang menembak kami bertiga," ujarnya.

Pintu akhirnya terbuka. Mereka dikejutkan adanya sosok perempuan yang sedang membopong seorang anak. Terakhir, dia baru mengetahui kalau anak bungsu Jenderal Nasution tertembak.

"Kita malah belum tahu ada siapa saja di dalam kamar itu, mungkin Bu Nasution dengan siapa lagi, siapa lagi. Enggak mengerti. Setelah terbuka, ada Bu Nasution membopong anaknya. Mungkin anaknya terkena pantulan peluru dan mengenai anak perempuan yang berada di dalam kamar. Jadi cerita kalau menembak anaknya dengan sengaja, itu enggak benar," jelasnya.

Setelah tak mendapatkan target yang dituju, akhirnya pasukan yang dipimpin Djahurup tersebut ke Lubang Buaya. Saat itu, dia baru mengetahui kalau ada Kapten Pierre Tendean ikut dibawa bersama pasukan dari arah timur rumah.

"Kalau proses ditangkapnya Tendean secara pasti, saya tidak tahu. Karena yang 'megang' Tendean itu Pak Idris tadi. Dia (Idris) keliru lagi, Tendean dikira Nasution," ucapnya.

Mengenai lolosnya Jenderal Nasution dari penjemputan, Sulemi memperkirakan Menpangad di zaman Orde Lama tersebut meloloskan diri melalui jendela kamar dan kemudian melompati pagar Kedutaan Besar Irak. Namun, Sulemi yang mengetahui Jenderal Nasution sudah tidak ada, sejurus kemudian melapor kepada pemimpin regu.

"Saat itu, ada yang memberitahu kalau Pak Nasution lewat jendela kamar, terus loncat sampai ke dindingnya, saat itu sempat ditembaki. Selain itu ada yang bilang, lolosnya Pak Nas, mungkin karena sebelumnya ada keributan di rumah Leimena, sehingga sudah tanggap dengan situasi tersebut," tuturnya.

0 comments:

Post a Comment